Tanda Terima Kasih dari Nona Teh dan Tuan Kopi

98 8 0
                                    

"Jadi mau minum apa, mbak wartawan? Kopi? Teh?" tanya bos tokek yang kini duduk di hadapanku.

"Kasih saya menu spesial. Nanti saya tulis dan promosikan di artikel. Warung emm maksudku cafe ini pasti bakal laris manis bombastis," ujarku sambil mengatur alat rekam yang ada di smartphone.

Bos tokek beranjak dari kursinya.
"Eh, mau ke mana?"

"Bkinin kamu menu spesial," jawabnya datar. Kukira yang namanya bos nggak perlu sampe turun tangan buatin minum gitu. Lagian udah ada si Om. Lantas apa kerjanya? Kulirik si Om yang sedang menggelar terpal. Setelah kuperhatikan, warung ini memakan lahan yang lumayan luas dibandingkan dengan yang lain. Cecak 2 dan 3 sedang asyik dengan laptopnya masing-masing.

"Silakan, mbak."
Suara bos tokek membuatku kembali fokus. Ia meletakkan gelas besar dengan pola oval khas gelas di warung makan. Gelas ini setara tingkat legend-nya dengan mangkok putih bergambar ayam yang dipake warung-warung bakso. Asap panas yang mengepul membuatku berpikir ulang untuk langsung meminumnya, padahal aromanya begitu menggoda.

"Kita mulai ya," kataku sambil menyentuh tombol ber-icon segitiga hingga berubah warna menjadi segiempat warna merah, pertanda benda itu sedang merekam.

"Eh iya, perkenalkan nama saya Ratri, mahasiswa tingkat satu kampus yang di dekat sini. Anda bos to... ehm, maksud saya nama Anda?"

Mampus, hampir aja keceplosan bilang bos tokek.

"Panggil aja Boy," jawabnya asal.

Mendadak jadi inget sinetron yang gemar banget ditonton nenek. Katanya sih Boy sekarang sudah meninggal. Kebayang Nenek yang nggak bisa move on selama dua hari. Itu yang kudengar dari obrolanku via telepon dengan Ibu kemarin.

"Well, Boy. Bener nih? Bakalan ditulis di artikel loh."

Sebenarnya kalimat ini cuma modus supaya bisa tau nama aslinya.

"Iya. Tulis aja gitu."

Ya sudah lah kalo dia emang pingin dipanggil gitu.

"Oke mas Boy, satu hal yang langsung terlintas di pikiran saya begitu melihat nama warung ini. Apa maksud dari Cave Meonk Gahol?"

Dia yang ada di hadapanku, Boy, kembali memahatkan senyum tipis di wajahnya. "Masak nggak tau artinya mbak?"

Kok jadi aku yang ngerasa bego ya?

"Cave itu ya mbak, tempat nongkrongnya anak muda, sambil ngopi atau ngeteh rame-rame gitu."

Aku hampir tersedak air liurku sendiri. "Haha, cafe yang itu pake huruf 'f' mas Boy, bukan pake 'v'," ujarku sambil menahan geli.

"Ga ada bedanya," timpalnya tetap dingin.

"Mas Boy, kalo cave itu bahasa Inggris, artinya gua loh. Tempat tinggal si buta sama monyetnya, Hihihi." Aku tak sanggup lagi menahan tawa.

"Ohya? Masa sih?"
Kini raut wajahnya panik.

"Buka deh dodol translate. Punya smartphone kan?"

Mas Boy bergegas membuka situs dodol translate melalui dodol search engine setelah berhasil mengetik kata sandi smartphone-nya dengan terburu-buru.

Tangan kanannya memegang kening, giginya sedikit meringis. "Hhaha, kamu benar, Rat! Tukang spanduk sialan! Sok tau banget pake bahasa Inggris. Mana dianya pake ngibul pernah kerja di kampung Inggris Peru."

Ternyata orang ini bisa banyak ngomong juga.
"Haha, tu kan bener. Eh mas Boy jangan panggil aku Rat dong. Artinya jelek banget loh."

"Apa emang artinya?" Dia langsung mengetikkan kata itu. Seketika tawanya pecah.
"Hahahah, pas banget sama kamu. Item-item gitu udah kaya tikus."

Aku memandangi outfit-ku kali ini. Jaket hitam, kaos abu-abu, dan celana jeans hitam plus kamera DSLR yang menggantung di leherku.

"Apa lagi itu yang ngegantung di leher. Persis Jerry yang abis nyolong makanan. Bwahahaha."

Sial, belom apa-apa udah ngejekin aja tuh orang. Padahal nggak nyambung juga ocehannya. Mana ada Jerry nyolong makanan terus digantungin di leher. Walaupun dia tikus, masih punya tangan kali.

Sabar Ratri, demi artikel pertamamu.

"Stop mas Boy, lanjut ke wawancara, ya."
Dia mengangguk sambil menyeka air matanya. Sampe nangis segala lah.

"Terus apa artinya Meonk? Kedengerannya seperti bahasa Korea."

Belum selesai mengambil nafas, ia sudah terbahak lagi.
"Masa ngga tau sih, mbak. Meong meong meong." Baru kali ini aku melihat tokek yang mengeong. Alih-alih seperti kucing, suara artifisialnya itu lebih mirip robot baca puisi.

Aku merasa seperti dikhianati.
"Meonk itu ya suara kucing mbak. Cuma karena kucingnya gahol, jadi nulisnya gitu."

Gaul apanya, alay iya.

"Mbaknya tau nasi kucing kan?" Tambahnya.

"Tau lah, nasi porsi kucing kan?" jawabku jutek.

"Iya betul mbak, kita jual nasi kucing, jadinya kita kasih nama meong. Nanti mbak boleh milih, mau cobain rasa sphageti atau pizza ala Italia, katsu atau teriyaki ala jepang, apa mau bulgogi atau kimchi ala korea? Ada semua mbak, komplit." Gaya bicaranya yang manis dan mengalir sudah macam pegawai asuransi. Mendadak ia makin mirip dengan tokek yang sedang bersuara.

"Tekeek... Tekeek... "

Dan aku adalah orang yang kurang kerjaan menghitung jumlah ocehan tokek itu.

"Oh jadi itu filosofi nama cafe ini. Oke. Mungkin kata depannya aja yang perlu revisi ya mas Boy, diganti hurufnya. Mendingan pake bahasa Indonesia aja deh. Jadinya K-A-F-E, gitu."

Alis mas Boy terangkat dua-duanya sambil berucap, "Hmm.."

Mengapa gayanya yang tadinya cool mendadak tengil begini sih?

"Oke, masalah nama akhirnya fix. Menu spesial apa yang barusan kamu buat?"

Kutarik gelas berpola oval legend itu mendekat. Hampir luput dari penglihatanku, ternyata ada satu hal yang menarik di balik model gelas yang klasik itu.

Ada sedikit buih yang samar membentuk pola hati di atasnya, seperti latte art. Sedikit kurang match dengan gelasnya, namun ini terlihat sangat alami, seperti tanpa sengaja terbentuk dengan sendirinya.

Sadar akan kekagumanku dengan hasil karyanya, ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, seperti hendak menikmati ekspresi yang secara alami terbentuk ketika kamu merasa takjub.

"Itu tanda terima kasih dari nona teh dan tuan kopi," katanya setengah berbisik. Kemudian baru kusadar bahwa sepasang tangan berjari panjang itu sedang menutupi mulutnya yang didekatkan ke telingaku. Ia benar-benar sedang membisikiku, seolah kalimat yang ia katakan barusan adalah sebuah rahasia.

Matahari mulai tenggelam, langit semakin pekat, dan aku sedang bersiap untuk menghitung ocehan tokek (lagi).

"Tekeek... Tekeek... "

NTdTK: Menu Spesial Kafe Meonk GaholTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang