Tiga Cecak dan Bos Tokek

160 12 0
                                    

Dedicated to Crowdstroia

Sore itu, di bawah langit bersemu ungu, aku berdiri di depan warung tenda bertuliskan: Cave Meonk Gahol. Jujur, pertama kali melihat tulisan itu aku bingung, gimana yah cara bacanya? Apa maksudnya? Ah, mungkin itu akan menjadi pertanyaan pertama yang akan kuajukan nanti.

Kak Remi, kepala redaksi koran kampus memberikan mandat kepadaku untuk mengisi kolom artikel 'muda inspiratif', dan ia merekomendasikan untuk mewawancarai pemilik kafe−mungkin lebih tepatnya warung tenda− yang ada di depanku sekarang ini. 



Keraguanku muncul ketika melihat warung tenda itu. Bagaimana tidak? Image kafe di benakku adalah tempat yang nyaman, berkelas, dengan daftar menu berjudul unik dan harga fantastis. Ya, itulah yang kutahu dari novel yang kubaca dan film yang kutonton. Aku sendiri pun belum pernah masuk kafe, poor me.

Kucari kontak kak Remi yang ada di smartphone dan kusentuh gambar gagang telepon di layarnya.

"Halo, kak. Aku lagi mau ngeliput buat kolom 'muda inspiratif' edisi bulan depan. Beneran nih ini tempatnya? Gak salah alamat?"

"Iya, yang di dekat taman, kan?" kata kak Remi dengan nada setengah kesal.

"Mmm, cave meonk gahol?" Aku mengucapkannya seperti mengeja kalimat berbahasa Inggris fasih. Maklum, aku mahasiswi jurusan sastra Inggris tingkat pertama. Masih semangat-semangatnya.

"Yup. Sory gue lagi rapat nih. Gue tutup yak. Good luck !"

Sambungan langsung terputus. 

Bahkan aku belum sempat protes, bagaimana bisa dia merekomendasikan tempat ini? Kulihat kanan dan kiri, hanya ada laki-laki yang sedang sibuk mendirikan tenda di sana. Aku bergidik dan mendadak membayangkan diriku adalah seekor nyamuk yang terbang di antara cecak-cecak di dinding diam-diam merayap. Mendadak nyanyi deh.

Duh, harap maklum ya aku suka berkhayal yang aneh-aneh kalo lagi panik.

***

Aku mengintip di balik pintu tenda. Seorang pria yang pantas dipanggil om menyambutku.
"Wah belum selesai beberes udah ada tamu cantik. Monggo, silakan duduk mbak," om itu berkata dengan ramah plus seringai yang lebar, memudarkan kesan angker yang melekat di tubuh kekarnya.

Aku pun memilih untuk duduk di kursi terdekat dari 'pintu'.

Ia mendekatiku dan berkata, "Mau pesan apa mbak? Sendirian aja nih?" Alis matanya naik sebelah.
Cecak 1 detected.

Ingin rasanya kabur aja, tapi hal itu urung kulakukan demi misi pertamaku yang sangat penting ini.

"Mm, gini om, saya kesini mau wawancara, boleh?"
Sebenarnya aku ragu, bagaimana mungkin om ini termasuk sosok muda inspiratif? Namun prasangka itu langsung kuusir jauh-jauh. Don't judge the book by its cover

"Waduh, wawancara apa mbak? Tau gitu saya pakai baju bagus dulu, meskipun udah ganteng, tapi perlu dandan juga mbak, biar keliatan tambah ganteng ntar kalo disuting," ucapnya dengan logat medhok.

Aku tertawa, om ini polos juga. "Nggak perlu om, saya cuma wawancara untuk  koran kampus kok, bukan wawancara acara TV."

"Tetep ajha mbak. Saya pulang dulu sebentar, deket kok. Cuma di ujung gang itu."
Ibu jarinya mengarah ke gang sempit di bagian kanan taman.

"Tunggu sebentar ya," ucapnya dengan ekspresi gembira yang sulit untuk dituliskan. Saking geli dan takjubnya, aku pun jadi ikut-ikutan menyeringai lebar seperti om tadi.

NTdTK: Menu Spesial Kafe Meonk GaholTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang