Enam

130 3 0
                                    

"Ning nong ning gung..... ning nong ning gung....".

____ Samar-samar aku mendengar suara dentingan gamelan degung sunda. Seketika aku merasa aman dan mencoba mencari sumber suara tersebut. Tak terlalu lama aku berjalan, dari kejauhan aku melihat sebercak cahaya obor.

Aku berlari dan berusaha mendekatkan diri pada cahaya obor itu dan suara gamelan semakin terdengar jelas. Tak salah lagi, ini adalah perkampungan.

"Terima kasih Tuhan aku selamat," ucapku dalam hati.

Benar saja, aku melihat beberapa rumah panggung terbuat dari bambu dan beratapkan jerami. Setiap rumah memiliki obor masing-masing. Sepertinya aliran listrik dari PLN belum bisa menjangkau kampung ini karena letaknya yang benar-benar di tengah hutan.

Perkampungan ini terlihat asri dengan dilingkari sekitar 15 rumah tradisional. Di tengahnya ada lapangan senacam alun-alun. Di alun-alun itulah orang-orang berkumpul sambil memainkan alat musik tradisional sunda dengan hiasan beberapa orang penari jaipong. Kesenian ini biasanya ku temui di upacara pernikahan atau upacara adat.

Kakiku melangkah menuju kerumunan orang itu. "Tap... tap... tap... sreeettt," di tengah perjalanan, tiba-tiba ada kain merah menabrak mukaku.

"Aduh maaf cu...tolong ambilkan selendang nenek," suara tua yang sedikit parau keluar dari mulut seorang nenek.

Sepertinya ia adalah salah satu penghuni kampung ini. Ia berbicara dari serambi rumahnya. Tentu saja aku mengembalikan selendangnya dengan ramah.

"Kau dari mana cu? sepertinya kau bukan penghuni kampung ini," tanyanya.

"Saya Dharma nek, saya dari Tanjungsari (sbuah kecamatan di Kabupaten Sumedang)," jawabku sopan.

"Mampirlah dulu, sepertinya kau kelelahan," ajak si nenek.

Aku tak dapat menolak, dan akhirnya ku penuhi undangannya.

Bersambung.....

ManglayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang