14. No Other

31.9K 4.6K 713
                                    

Pagi ini aku memutuskan untuk kembali kerja di kafe setelah beberapa hari cuti. Lebih tepatnya menghindari Jisoo sih. Bagaimana pun juga, rasanya nggak nyaman banget kalau harus berhadapan sama dia.

Tapi sekarang aku bisa mengatasinya. Harus! Lagian, mau sampai kapan aku menghindari Jisoo?

Pintu kafe terbuka disaat aku sedang membersihkan meja-meja. Jisoo yang sedang berdiri di ambang pintu menatapku nggak percaya.

"Miroo?"

"H-Hai," sapaku sedikit kikuk. Hehe, ternyata nggak semudah yang aku kira. "Tumben dateng pagi?"

"Apa cuti beberapa hari membuatmu lupa? Aku selalu datang pagi-pagi," jawabnya setengah bercanda. Aku menggaruk tengkukku yang nggak gatal.

"Benarkah? Haha, mungkin otakku terlalu bermasalah sampai melupakan hal itu."

"Karena suamimu?"

"Eh?" Aku mengernyit. Maksudnya?

"Otakmu bermasalah karena suamimu? Kau terlalu memikirkannya?"

Jisoo memang aneh. Nadanya terdengar cemburu, tapi senyum itu... kenapa nggak mau lepas dari bibirnya?

"I-Itu--"

"Miss you. Jangan sembarangan pergi tanpa kabar seperti kemarin. Meski hanya sehari."

Tatapan kami bertemu cukup lama. Entahlah, melihatnya sedekat ini membuatku lupa diri. Membuatku lupa dengan statusku yang istri orang.

"Hm. Aku nggak akan pergi," jawabku singkat.

***


Setelah kupikir ulang di sepanjang perjalananku menuju halte, kurasa ucapanku pada Jisoo sedikit gila.

Pertama, sebentar lagi aku lulus. S1 lagi. Masa iya aku akan terus kerja part time di kafe? Yang benar aja.

Kedua, aku baru ingat kalau Om pernah bilang, "Orang baik tidak akan merebut yang bukan haknya. Sekalipun kita menikah karena paksaan, kau tetap istriku."

Jadi, apa aku salah? Apa secara nggak langsung aku udah menyalakan api? Playing with fire?

"Aish, molla!"

"Sepertinya kau benar-benar frustasi, anaknya Pak Han."

Aku tersentak mendengar suara berat di belakangku. Aish, dobel sial. Ngapain dua cecunguk ini ada disini?

"Ini belum waktunya aku bayar. Pergi!" usirku. Mereka membuatku makin kesal.

"Sabar dong, dengarkan penjelasan kami dulu. Hari ini memang bukan jadwalmu membayar hutang Ayahmu, tapi--"

"Jadwalmu membayar bunga yang sudah ditetapkan. Haha!"

Dua cecunguk itu tertawa puas. Entahlah, apa yang buat mereka sebahagia ini? Mereka sangat bodoh untuk ukuran kaki tangan rentenir.

"Bunga, kan? Tuh bunga!" kataku sambil menunjuk sebuah pot berisi bunga matahari.

"Sialan! Kau mau menunggak lagi? Ya, hutang Ayahmu makin bengkak, asal kau tahu! Bunganya saja sudah satu juta won! Kau mau kita mengacak rumah Ayahmu?"

Aku mendesah kesal. Ayaaaaah, ngapain pake utang banyak-banyak sih? Ke rentenir lagi! Susah deh kalau begini.

"Siapa kalian?"

Aku memekik pelan mendengar suara berat yang tak asing di telingaku itu. Aku buru-buru membalikkan badan dan--Bingo! Om ada disini.

"Siapa kal--"

Om Wonwoo✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang