Alice.
D-Day lahiran junior.
Entah kapan nantinya aku bisa melupakan kemarahanku saat ini pada Geo. Pada lelaki yang selalu berhasil mencuri hatiku dengan tawanya. Selalu membuat kelelahanku lenyap seketika hanya dengan pelukan atau ciuman singkat. Orang yang walaupun kadang menyebalkan, dia bisa mengubah hal yang menyebalkan itu menjadi menggemaskan hanya dalam sekejap saja, seperti sihir. Lelaki yang seringkali berbisik lembut di telingaku, "You are my world," di antara deru napas kami yang bersatu. Di antara pagutan dan rengkuhan yang kami bagi. Orang yang hampir dua tahun lalu, sebelum kami menikah, pernah menggenggam tanganku sambil tersenyum lebar, "Kalau kamu melahirkan anak kita nanti, aku pasti akan ada buat kamu!"
Omong kosong!
Dia pembohong!
Kebohongan yang sudah membuat hatiku sakit bukan main!
Dia tahu betul, hari ini aku akan melahirkan anak kami. Dia bahkan sempat menemaniku jalan-jalan mengelilingi taman sebelum aku pergi ke rumah sakit, walaupun ada adegan yang tidak penting—saat bertemu Alan—tapi setelahnya, aku dan Geo kembali ke rumah, dan kami baik-baik saja. Kami bercinta. Lalu, kami bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit.
Sampai kemudian, telepon sialan itu datang!
Dari bosnya, yang Demi Tuhan, kenapa memaksa Geo untuk ikut pergi ke Manila, karena ada audit global dari kantor pusat mereka di London, yang MENGHARUSKAN Geo untuk ikut?!!
"Aku nggak akan pergi," itu yang Geo bilang awalnya, saat aku sudah kehilangan senyumku dan memilih duduk di meja rias tanpa melakukan apapun.
Tangan kananku kugenggam erat di sebelah tubuh, menahan geraman kesal di dada. Sementara tanganku yang lain, kuletakkan menempel dengan perutku—dengan juniorku.
"Pergi aja. Aku tahu kamu nggak akan tenang kalau nggak berangkat. Ini kesempatan emas buat jabatan kamu di kantor," desisku, beberapa jam yang lalu. Dan berikutnya, datang lagi telepon sialan itu! Membuatku naik darah dan langsung berteriak tanpa pikir panjang lagi, "KAMU PERGI AJA SANA! MAMA DAN KAK FELICE BISA NEMENIN AKU DI RUMAH SAKIT!"
Aku masih ingat bagaimana reaksi Geo sesaat setelah aku mengatakan itu. Dia memucat, tapi dia tidak mendebat.
"Al, kalau aku bisa menunjukkan performance-ku oke ke pihak global kali ini, aku bisa dipromosikan jadi general manager. Aku..."
"Cukup!" raungku. Dadaku berdebam-debam diserbu emosi. Mukaku sudah panas. Tapi, aku tidak ingin menunjukkan air mata pada lelaki yang—biasanya—menentramkan hatiku itu.
"Antar aku ke rumah Mama. Sekarang," pintaku, masih tidak bisa meredam emosi.
Saat Geo tidak mendebat, tampak lelah menghadapi kemarahanku, hatiku remuk. Dia benar-benar memilih pekerjaan dibandingkan istrinya yang akan melahirkan.
Bagaimana kalau aku kenapa-kenapa saat melahirkan?
Aku merutuki diri sendiri!
Tidak, aku akan berjuang agar junior dan aku bisa berjumpa. Sehat dan selamat—tak peduli apakah saat kami berdua pertama bertemu nanti, Geo tidak ikut menyaksikan.
"You good, Honey?"
Aku terperenyak, merasa bersalah karena mamaku menangkap basah aku yang tenggelam dalam lamunanku sendiri. "Iya, Ma. Aku baik-baik aja. Agak nervous, tapinya," kuberi cengiran di akhir kalimat, berharap bisa memupus ekspresi khawatir di wajah Mama.
"Udah, jangan banyak pikiran. Mama, Papa, Kak Felice, ada di sini. Kita berdoa sama-sama," tutur Mama untuk menenangkanku.
Dalam jeda yang hanya sesaat, aku memandangi sosok Mama yang berusia menjelang enam puluh tahun. Tubuhnya terbilang kurus dan agak tinggi. Rambutnya yang tertata rapi, terurai sepanjang bahu. Rahangnya yang tirus, membingkai wajahnya yang kata orang-orang, menurunkan kemiripan kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY BLESS
ChickLitAlice dan Geo tidak pernah membayangkan bahwa mengurus seorang bayi adalah pekerjaan yang paling berat untuk dilakukan. Yang ada di kepala mereka selama ini, mengurus bayi identik dengan hal lucu dan menggemaskan. Saat sang bayi akan lahir, drama...