TIGA

147 24 5
                                    

"Kalian ini sebenarnya niat belajar tidak? Spidol saja kalian tidak punya!" Pak Tono baru saja memasuki kelas tapi suara menggelegar bak petir langsung keluar dari mulut pria itu. Awalnya pria itu menebarkan senyum namun beberapa menit kemudian senyumnya tergantikan dengan wajah geram. "Dua hari yang lalu saya masuk ada banyak spidol di sini, sekarang mana?!" suara Pak Tono kembali terdengar.

Seisi kelas tidak ada yang berani menjawab. Ada yang menunduk, ada juga yang memperhatikan tingkah Pak Tono, seolah sudah terbiasa.

"Mungkin dibawa tikus, Pak!" jawab Bryan yang hanya mendapat tatapan tajam dari Pak Tono. Ralat, cuma Bryan yang berani menjawab, sisanya tak bersuara. Termasuk Ray sekali pun.

Ayra cuma geleng-geleng kepala. Dari ber ratus-ratus siswa di sini, cuma Bryan dan Lintar yang berani mencekal omongan Pak Tono.

Fyi, Lintar adalah anak XI-IPS 2 yang nakalnya nggak ketulungan.

"Berani ya kamu menjawab saya!" Bryan nyengir, " ... atau jangan-jangan kamu bawa pulang, ya?!"

Bryan mengangkat kedua tangannya keatas, "Ya Allah, Pak. Suudzan mulu sama saya."

Seisi kelas tertawa pelan. Apapun kalimat yang keluar dari mulut Bryan selalu saja jadi alasan satu kelas tertawa. "DIAM SEMUANYA! SIAPA YANG SURUH KETAWA?!"

Hening. Nggak ada mulut yang terbuka. Nggak ada lagi suara yang terdengar kecuali suara Pak Tono. Bahkan saking heningnya, suara perut Deni yang dari tadi lapar aja bisa kedengaran satu kelas.

"Kasian juga Pak Tono," bisik Ayra, "Dikerjain Bryan sama Ray mulu."

Sesa terkekeh pelan. Mereka ada kesempatan ngobrol karena Pak Tono lagi sibuk mencari spidol pribadinya. "Kadang kurang ajar, sih. Tapi seru juga."

Seru?

Ngerjain guru itu seru? Dosa, Astagfirullah.

"Buka buku kalian halaman 32," perintah Pak Tono setelah mendapatkan spidol miliknya sendiri.

Ray dan Bryan saling tatap. Rencananya kali ini gagal lagi.

"Ini spidol siapa banyak banget?" Manda mengangkat empat spidol sekaligus dengan kedua tangannya. Bryan menahan tawanya, juga dengan Ray.

Pak Tono meletakkan kembali buku paketnya di atas meja guru. Membuka kacamata miliknya lalu matanya menyipit, "Oh jadi kamu yang sembunyikan, Manda?"

Manda panik setengah mampus karena emang dia sendiri nggak tau kenapa empat spidol itu ada di tas miliknya. "Eng-nggak, Pak. Saya aja ng-nggak tau ke-kenapa a-ada banyak spidol di tas saya," jawab Manda terbata-bata.

"Kamu keluar dari kelas saya!" mata elang milik Pak Tono membuat Manda lagi-lagi menciut.

Ucapan Pak Tono emang nggak bisa terbantahkan, sekecil apapun masalahnya kalau sudah berurusan dengan guru yang satu ini urusannya bisa panjang. Tanpa basa basi, Manda segera keluar dari kelas.

Sebelumnya, gadis itu sempat-sempatnya menghentakkan kaki lalu menatap tajam kearah Ayra

Ayra hanya diam. Merasakan ribuan belati seolah menusuk dari belakang. Sakit, dan nggak berdarah.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Manda menatap tajam ke arah Ayra. Bahkan hal itu sudah dianggap biasa dengan Ayra saking seringnya. Seakan menjadi makanan Ayra setiap hari.

Tapi seperti tak ingin memperkeruh, Ayra hanya diam saja tanpa mampu melawan.

"Fokus kedepan!" sontak semua siswa kembali menatap papan tulis. Pak Tono sudah menuliskan beberapa rumus baru yang tidak Ayra ketahui rumus apa itu sebenarnya. Lengkap dengan kacamata yang biasa pria itu pakai kalau sedang mengajar.

Melodi PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang