DUA

155 28 2
                                    

Ayra hanya bisa menggeleng melihat kelakukan Bryan dan Ray. Apalagi sekarang beberapa teman sekelasnya ikut-ikutan bertingkah aneh seperti dua cowok itu. Bryan sibuk mengumpulkan spidol--berniat menyembunyikan semua spidol tersebut, katanya biar Pak Tono nggak jelasin materi matematika pagi ini. Sedangkan Ray mencari tempat dimana semua spidol itu harus disembunyikan, biar nggak ketahuan.

"Nah disini nih!" seru Ray menunjuk tas Manda, "Disini aja."

"Ah males gue, ntar ribet lagi urusannya sama tuh anak," jawab Bryan tidak tertarik, "Ditempat lain aja."

"Cemen banget lo, sama Manda aja nggak berani." Ray melemparkan tatapan remeh kepada Bryan. Yang ditatap langsung menarik napasnya kemudian berjalan mendekati Ray. Mau nggak mau, kalau nggak ntar Bryan dicap cowok cemen sama anak-anak kelas.

Kan nggak lucu cowok se-cool Bryan dicap cemen. Walaupun nggak cool-cool amat, sih. Masih ada bolot-bolotnya gitu.

Ray dengan seenak jidat menyuruh Deden menjaga di ambang pintu kelas, takut kalau sampai ketahuan Manda. Bisa-bisa panjang urusannya. Ya, kali, cuma gara-gara spidol dia masuk BK. Manda emang selebay itu.

Ray membuka resleting tas Manda cepat. "Gileee, dia niat sekolah nggak, sih?" Ray memasang wajah malas. "Cuma bawa buku tulis beberapa, sisanya paket. Mending juga ke mana-mana."

Tria menggeleng, lalu menyahut, "Pantas bego."

Gina refleks tertawa mendengar perkataan Tria. Sejak berubah setahun lalu, Manda jadi sering ditegur guru, tapi nggak tau kenapa Manda nggak pernah tuh masuk BK. "Bego tapi licik ya."

"Woy cepetan Manda bentar lagi masuk kelas!" tanpa berpikir panjang, Ray memasukkan semua spidol kelas ke dalam tas Manda. Kemudian kembali menutup tas cewek itu dengan rapi. Tepat setelah Ray berlari menjauhi tempat duduk gadis itu.

Manda memasuki kelas. Masih sama, dengan langkah angkuhnya. Ayra yang melihat seperti teriris, kenapa Tuhan membiarkan Manda berubah seperti ini?

"APA LO LIAT-LIAT?" teriak Manda kepada Bryan. Nyolot.

Bryan yang merasa ketahuan memperhatikan gerak-gerik Manda langsung panik. Dia sempat bingung harus menjawab apa. Matanya mencari-cari apapun atau siapa pun yang bisa dijadikannya alasan. Tepat sekali, ada Cecep yang sedang membaca buku di belakang kursi Manda. "GE-ER LO, ORANG GUE LIATIN CECEP!"

Ayra langsung terkekeh pelan. Nggak cuma Ayra, tapi satu kelas.

Bryan emang gitu, kalau kasih alasan nggak pernah logis.

Pasti habis ini Manda curiga, mikir yang nggak-nggak terus cerita ke semua orang.

BOOM! Jadi gosip satu sekolah!

"Kalian berdua ... homo?!" Mendengar tuduhan itu, Bryan lantas menggeleng cepat.

"Lo kalau jadi orang jangan bego-bego amat dong, Man." Manda menoleh keasal suara. Ray mendekat ke arahnya, menatap remeh. "Cukup badan lo aja yang kecil, otak lo jangan."

Sakit.

Perkataan Ray barusan nggak bisa membuat seisi kelas nggak tertawa. Semua tertawa puas. Seolah ini adalah hiburan. Melihat cewek sombong itu dipermalukan rasanya ... wah. Kapan lagi?!

Bryan menghela napas lega. Untung ada Ray.

"Awas ya lo gue lap-"

"APA?!" Ray menatap tajam kearah Manda, membuat cewek itu menciut. "Mau laporin gue ke BK? Terus lo buat drama? Ngebuat guru-guru respect sama lo, huh?!" Ray tersenyum miring. "Peduli apa gue!"

Napas Manda naik turun. Dia menatap sinis kearah Ray kemudian memilih untuk duduk di kursinya. Diam, hanya diam. Dia sama sekali tidak menjawab perkataan Ray barusan. Tumben.

Melodi PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang