ENAM

133 15 3
                                    

Matahari siang ini benar-benar terik. Menyisakan jalanan Ibukota yang lengang meskipun sekarang waktunya makan siang bagi karyawan kantoran. Mungkin mereka lebih memilih berdiam diri dan duduk di bawah AC ketimbang harus membakar kulit mereka di bawah teriknya matahari siang ini.

Taksi berhenti tepat di depan pekarangan rumah berwarna abu-abu. Rumah bernuansa klasik dengan pagar hitam mengitari halaman depan rumah itu, semakin memberikan kesan sederhana. Namun tetap terlihat mewah.

Ayra turun setelah sebelumnya memberikan sejumlah uang kepada supir taksi yang ditumpanginya. Garasi rumahnya terlihat kosong. Tidak ada satu pun mobil mengisi garasi besar tersebut. Sudah pasti Ayahnya belum pulang dari kantornya, sedangkan Daffa masih harus menetap di kampusnya karena tugas kelompok.

Sebelumnya Daffa memang menelpon Ayra, memberitahu kepada adik perempuannya itu bahwa dia tidak bisa menjemput karena alasan tugas kelompok itu harus selesai dalam dua hari kedepan. Mau tidak mau Ayra menunggu taksi di halte selama lima belas menit. Dengan keringat yang bercucuran menahan panasnya matahari yang menyengat.

"Assalamualaikum." Ayra membuka pintu rumahnya, lalu duduk di atas sofa untuk membuka kedua sepatunya. "Ma," panggilnya hampir berteriak.

"Eh Non Ayra sudah pulang," ujar Mbok Siti yang muncul dari arah ruang tengah, dengan serbet di tangan kanannya. Wanita paruh baya itu sudah bekerja di rumah Ayra selama enam belas tahun. Tepat sebulan setelah Ayra lahir di dunia.

"Mama mana, Mbok?" tanya Ayra sambil mengikat helaian rambutnya menjadi satu.

"Tadi sih Ibu ke kamar, Non. Nggak ada turun ke bawah lagi," jawab Mbok Siti dengan logat Jawa medhok-nya.

Ayra mengangguk pelan. "Yaudah, Mbok, aku ke kamar dulu, ya."

"Monggo, Non."

Ayra berlari kecil menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua di rumahnya. Dipegangnya kenop pintu yang dingin lalu membuka pintu kamarnya pelan-pelan. Aroma vanilla langsung menyambutnya begitu memasuki kamar bercat biru pastel itu.

Ayra yang sudah lelah langsung melempar tas miliknya dengan kasar ke arah sofa--yang memang sengaja ditaruh di kamarnya--setelah sebelumnya kembali menutup rapat pintu kamarnya. Dihempaskannya tubuhnya ke kasur yang menjadi tempat ternyaman untuk beristirahat. Ayra merentangkan kedua tangannya sengaja, agar beban yang ada di pundaknya menghilang sejenak.

Hanya sejenak.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Ayra sibuk mencari-cari keberadaan barang kecil itu yang ternyata ada di dalam ransel sekolahnya. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, cewek itu langsung melihat layar ponselnya.

Nama Richie tertera di layar.

Senyum simpul tercetak dengan mudah di bibirnya.

Ayra segera memencet tombol hijau dan menempelkan layar ponselnya di telinga. "Ra, gue di depan kamar lo."

"Hah? Gila apa lo, ya?" tidak mungkin Richie ada di depan kamarnya saat ini. Ayra sudah jelas tidak percaya. Pasalnya, Ayra baru saja memasuki kamarnya dan tidak melihat ada siapa-siapa di lantai dua maupun di lantai satu, selain Mbok Siti.

Nggak mungkin, kan, dalam waktu kurang dari lima menit Richie sudah berdiri di depan kamarnya?

Apalagi yang Ayra tahu, sahabatnya itu tidak berada di Jakarta sekarang. Richie berangkat ke Malang empat hari yang lalu untuk menjenguk neneknya yang dirawat di rumah sakit karena penyakit diabetes yang dideritanya.

"Lo jangan bercanda." Ayra terkekeh pelan, "Mana percaya gue."

"Gue seriusan, Ra. Mana pernah sih gue bohong," balas Richie dari seberang. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.

Melodi PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang