TUJUH

88 12 2
                                    

Minggu. Hari yang selalu ditunggu-tunggu oleh gadis yang kini sibuk dengan aktivitasnya.

Pantulan cermin menampakkan dirinya dengan mini dress berwarna hitam, yang melekat pada tubuh mungilnya. Rambut hitamnya sengaja digerai, memperlihatkan kesan anggun bagi sang pemilik. Melihat pantulan wajahnya dengan sedikit polesan make up membuatnya tersenyum, cantik.

Dalam hati, dia membenarkan segala perkataan orang-orang bahwa dirinya memang mirip dengan sang bunda. Pupil mata yang berwarna coklat tua, bibir tipis, benar-benar tiruan dari wajah bunda.

Manda berlalu dari depan cermin dan meraih tas kecil miliknya. Memastikan bahwa barang yang akan dibawanya tidak ada yang tertinggal. Matanya melirik jam yang terpajang di dinding kamarnya, "Astaga udah lewat sepuluh menit!"

Manda segera mengambil kunci mobilnya dengan kasar lalu menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

"Bun, Manda pergi dulu, ya!"

"Hati-hati ya, sayang!" jawab sang bunda dari arah dapur. Manda mengangguk meskipun dia tahu, bunda tidak akan bisa melihat.

Mobil yang dikendarainya melesat dengan cepat. Dia berharap kali ini tidak terjebak dalam kemacetan Ibukota yang tak berkesudahan. Sesekali matanya melirik jam yang melingkar di tangan. Orang yang ingin ditemuinya memang bukan seorang pejabat penting atau bahkan Presiden Negara, hanya orang biasa yang pernah menemani masa kecilnya. Bersama dengan satu gadis yang kini bukan lagi teman baiknya.

Manda yakin, setelah dirinya sampai di tempat yang mereka sepakati, laki-laki itu akan mendiamkannya dan mengatakan, "Ngaret aja terus."

Perkataan yang selalu laki-laki itu lontarkan jika Manda datang terlambat.

Manda memasuki café dengan perasaan bercampur aduk. Matanya menelusuri, mencari-cari seseorang yang wajahnya tak asing lagi. Setelah puas menyapu pandangan, dan objek yang dicari ketemu, kakinya lantas kembali melangkah. Menghampiri seorang cowok yang sedang duduk sembari mengaduk jus pesanannya.

"Hai." Laki-laki itu refleks menghentikan aktivitasnya. Mendongak lalu mendengus.

"Ngaret aja terus." Manda tertawa pelan. "Duduk," katanya sarat akan perintah. Manda mengangguk menuruti.

Setelah itu keduanya diam. Hanyut dalam pikiran masing-masing.

Manda sibuk menebak-nebak apa yang akan dikatakan laki-laki di hadapannya, sedangkan laki-laki itu sibuk memikirkan bagaimana caranya menyatukan jarak yang sudah lama terpisahkan.

"Lo pasti udah bisa nebak apa tujuan gue ngajak lo ketemuan disini."

Napas Manda tercekat mendengar perkataan yang dilontarkan laki-laki di hadapannya. Dia merasa oksigen di sekitarnya tiba-tiba menghilang begitu saja.

Kalau memang tebakannya benar, Manda akan menyesali setiap pertemuannya dengan Richie hari ini.

"Ri, gue nggak mau bahas itu lagi," ucapnya tenang. Setenang air yang tak disentuh.

Richie menghembuskan napas kasar. "Mau sampai kapan?"

Manda terdiam. Jujur saja setengah dari dirinya menginginkan semuanya kembali seperti dulu. Sebelum segalanya hancur karena luka dan rahasia.

Hatinya ingin tapi ego nya memaksa untuk tetap seperti ini.

Sering kali ego dan hati Manda berkecamuk, namun setiap hal itu terjadi, selalu egonya yang menang. Alhasil, kini pintu maaf dari hatinya seperti tertutup rapat.

"Kalau lo mau ngomongin masalah ini mending-"

"Manda?"

Mendengar namanya dipanggil, Manda menoleh dan mendapati seorang gadis berdiri tepat di sampingnya. Tatapannya kembali pada Richie yang kini bersandar pada kursi dengan kedua tangan terlipat di dada.

Melodi PianoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang