#Rumah: Cerita 13

191 14 7
                                    

"Jun, gimana pendapat kamu soal Istirahatlah Kata-Kata?"

Arjuna menjawab--sambil agak mengeraskan suaranya karena deru angin yang menerpa motor yang mereka tumpangi. "Bagus. Memang bikin mikir dan less dialogue; kayaknya cuma yang betul-betul mengikuti kisahnya Wiji Thukul aja yang bakal langsung paham ceritanya."

"Pernah terpikir untuk jadi seperti dia, nggak?"

"Apa, jadi buron?" Arjuna tertawa kecil. "Menarik. Tapi kalau maksud kamu jadi dia itu nggak bisa diam melihat rezim penindas, tentu aku mau."

Bela tersenyum. "Iya. Kamu harus kayak gitu ya, Jun," ujarnya, "Tapi jangan sampai jadi buron."

"Takut aku kenapa-napa, ya?"

"Ih, nggak!"

Kali ini mereka terkekeh. "Tapi apa kata Wiji dalam film itu bagus juga," kata Arjuna lagi; ia mengutip sebaris kalimat dari film yang sedang mereka bicarakan itu, ""Rezim ini bangsat, tapi takut pada kata-kata.""

Mengangguk-angguk, Bela tidak membalas apa-apa. Mereka pun menikmati perjalanan pulang dalam diam.

"Lho," tiba-tiba Arjuna menyeletuk, "Aku kaget, kirain ini tanda lampu sein yang nyala. Ternyata eco."

"Ya ampun," Bela tertawa, "Kamu nggak pernah pakai motor matic ya, Jun?"

"Ya, bukan yang kayak begini juga, sih. Lagipula ini kan motor kamu, mana aku tahu kalau ada yang beginian." Sekarang Arjuna pura-pura menggerutu. "Aduh. Eco, eco. Kayak nama artis di DPR aja."

"Beda, Jun, beda."

"Sama-sama 'eko', kan?"

"Eko di DPR nulisnya gimana, coba? Pakai 'c', nggak?"

"Nggak, sih."

"Aduh. Ajun, Ajun," Bela menirukan Arjuna, "Begini aja diributin."

"Kamu, tuh!" Gelak Arjuna. "Nggak lebih buruk daripada ribut-ribut di DPR sana, kok. Nggak apa-apa." Ia melanjutkan, "Kayak si artis DPR tadi, tuh. Udah kasus lagi aja. Kemarin anggota DPR lain yang artis juga, si B, kena kasus pula. Tambah penyanyi C, ketangkap KPK. Si C lho, Bey. Si C! Dan mereka jadi wakil kita, wakil rakyat. Sekalian aja penyanyi D gabung sama DPR, bikin skandal seks lagi di kursi perwakilan."

Bela menyembunyikan tawanya di balik bahu Arjuna. "Udah beres ngomelnya?" Guraunya. "Dasar. Kalau udah ngomongin politik memang paling seru ya, Jun."

"Iya, dong," jawab Arjuna antusias. "Coba pikir lagi deh, Bey. Mereka itu duduk di kursi wakil rakyat. DPR, Dewan Perwakilan Rakyat. Hah, perwakilan rakyat kimak kau!" Ia mengutuk dalam bahasa Batak, dan Bela kini tertawa lepas karenanya. "Memang kamu mau punya wakil macam mereka?"

"Entah," tanggap Bela, "Aku sih, nggak pernah merasa diwakilkan atau terwakilkan oleh mereka." Setelah itu, ia berujar lagi. "Ini yang selama ini kamu protes keras ya, Jun? Sama bang Yoga dan kawan-kawanmu itu?"

"Ya. Bukan orang-orang di DPR-nya, ya--itu berarti kesadaran kami masih naif--tapi sistem yang diciptakannya. Kalau nggak ada yang bersuara, bisa-bisa habis kita dimakan sistem negara, lalu keluar-keluar jadi tahi."

Sebagai bentuk mengiyakan, Bela menepuk-nepuk pinggang lelaki yang ada dalam pelukannya itu. "Iya, iya. Udah ah, jangan terlalu dipikirin."

"Hmm, aku terlalu serius, ya?" Sahut Arjuna. "Ya udah, aku mikirin kamu aja, deh."

Bela yakin wajahnya terasa panas bukan karena perkataan lelakinya. Bukan. "Jangan, ah. Mikirin aku itu kayak mikirin beban hidup. Capek."

"Ah, kata siapa? Aku beban hidupnya, kali."

"Kenapa bisa bilang gitu?"

"Ya, macam begini, lah. Sampai harus pakai motor kamu buat jalan-jalan gara-gara si bekjul mogok, terus aku cuma bisa ngantar kamu sampai ke kosanku. Pulangnya kamu jadi harus sendiri. Aku jadi nggak enak sama kamu."

"Astaga, Arjuna," Bela memutar kedua bola matanya, "Lebay, ah! Kalaupun aku keberatan, harusnya aku batalin aja janji jalan-jalannya begitu kamu bilang bekjul lagi di bengkel. Hidupku nggak seribet itu, kamu tahu sendiri, kan."

Melirik kaca spion, Bela bisa melihat Arjuna menyunggingkan seulas senyum.

"Aku nggak salah pilih, ya."

"Terserah lah, Jun." Gumam si gadis. "Jangan pegang tanganku, pegang stang motor yang benar. Oleng dikit, nabrak nanti."

"Iya, iya, sayang."

"Berisik."

Rumah: Kumpulan Cerita PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang