BAB 2. Adzan Laki-laki VS Aki-Aki

81 8 0
                                    

(sepercik nostalgia)

..tangan sepanas gurun itu berhasil mencengkram pundaknya.

"Aaa.. tidaak Ayaaah!!"

***

Kali ini, Azhar benar-benar terbangun dari tidurnya.

"Azhar?" Senitya bersuara.

Azhar kembali mengumpulkan nyawa, menarik-ulur nafas, kembali memasok oksigen ke dalam paru-paru sebanyak-banyaknya.

Di alam sadar ini, nyatanya seseorang memang sedang mencengkram lembut pundaknya, tapi bukan tangan neraka seperti dalam mimpinya.

Tangan yang satu ini berkuku tumpul kuning, kurus, lentik, putih pucat, beraroma rempah-rempah. Tangan pemilik telapak kaki surga yang selama ini sibuk membanting tulang siang-malam demi sesuap nasi, terlalu sibuk mencari bekal hidup di dunia hingga melewatkan masa emasnya sebagai Ibu Rumah Tangga. Wanita yang dinikahkan orang tuanya di usia belia dengan lelaki matang yang profesinya tak terlalu menjanjikan: Pelukis tak tersohor yang mengadu nasib menjadi Buruh tani. Wanita kurus yang seumur hidup Azhar tak pernah lekang dari urusan pekerjaan. Kerja, kerja, dan kerja. Uang, uang, dan uang. Hanya itu-itu saja, prinsipnya sukar diubah.

Ibunya, Senitya Lusiane.

"Kamu tidak apa-apa, Sayang? Ada apa?"

"Eyang Kurnia mana?"
Kebiasaan Azhar, mengalihkan pembicaraan. Lagipula ia curiga, tak biasanya sang ibunda pulang sebelum menembus waktu Isya.

Azhar melirik jam tangan tua kesayangan almarhum ayahnya yang selalu ia kenakan walau terlalu besar di tangan lidinya.

Baru jam setengah enam.

"Ibu minta izin pulang lebih awal. Ashar tadi, Eyang Kurnia menelpon Ibu. Katanya, malam ini Eyang akan kedatangan tamu, menantu dan cucunya dari Jakarta. Jadi, Eyang mesti beres-beres rumah, masak, belanja ke Pasar Bojong, katanya belanja buat jamuan tamu specialnya itu."

Ah, kenapa Ibu selalu menjawab tanda tanya dalam pikiran Azhar?

"Kenapa Eyang gak cerita padaku?"
"Dari Ashar kamu tertidur pulas di kursi, Eyang gak tega bangunin kamu, Sayang.." Senitya menjeda ucapannya. Tercium bau hangus di sekitar sana.

"Astagfirullah, tahu gorengku!"

Azhar mengusap wajah, sepertinya malam ini ia mesti makan tahu hitam lagi, lagi dan lagi.

Hampir maghrib. Azhar meraih sarung kotak-kotak warna ungu-nilanya dari gantungan paku di belakang pintu.

'Pria sejati selalu disiplin menunaikan shalat di masjid!'

'Bukan laki namanya kalau gak mau adzan!'

'Kehilangan sandal di masjid, tak ada harganya ketimbang kehilangan pahala shalat berjamaah!'

Petuah-petuah sakti mandraguna yang diracik almarhum ayah Azhar sebagai mantra penghilang kemalasan Azhar dalam menegakkan shalat, saling berkelibat melintasi alam pikirannya.

Dulu, Azhar selalu menertawakan nasihat bijak ayahnya. Kini, kalau sudah tiada baru terasa. Kata-kata unik racikan almarhum ayahnya benar-benar sukses menyihir semangat Azhar dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang muslim, walaupun belum mencapai masa baligh.

AJMALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang