BAB 1. Tulang Punggung yang Patah lalu Mati

101 9 4
                                    

Untuk Ayah tercinta,
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah, dengarkanlah..
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi

~Ayah - Rinto Harahap~

...

Akhir tahun ini, Azhar lebih memilih membuang waktu libur semester ganjilnya di kamar, sendiri, menyanyi, menyepi, mengobati luka hati.

Denting hujan turut mengembuni wajah minimalisnya. Terduduk menghadap jendela, membiarkan jendela kamarnya terbuka dari pagi hingga senja. Mengabaikan wajah pilunya menjadi sorotan tetangga.

Tiada yang bisa mengembalikan senyum cerianya selama enam bulan terakhir ini, termasuk ibunya sendiri. Diiming-imingi liburan, hiburan, dan mainanpun tak mempan. Bocah tampan bermata bulan sabit itu masih saja terpuruk dan akan tetap terpuruk hingga harapan termustahilnya terwujud: Ayahnya yang telah wafat, dapat kembali hidup.

Sulit dicerna akal sehat, bocah sepuluh tahun mampu memaknai rasa kehilangan hingga sefatal ini. Kehilangan sosok panutan keluarga, tulang punggung yang rela membanting tulangnya tiap hari demi menyokong nafkah lahir batin keluarganya, sang almarhum ayah tercinta, mampu membabi-butakan kesehatan jiwa dan raganya.

Bagi Azhar, kematian ayahanda adalah kenyataan tersulit berbalut kesulitan ternyata yang mesti ia terima. Ayah adalah hidupnya. Tanpa ayah, ia kehilangan tujuan dan arah. Dari dulu tekadnya hanya satu, membahagiakan ayah. Hanya ayah, cukup ayah.

“Ayaaah!”

Azhar terhempas dari mimpi kelamnya. Ia terperanjat, menyadari kilas-lintas kematian ayahnya yang semakin rajin mendatangi alam bawah sadarnya.

Ia mencoba berdiri, tubuh tiang listriknya terasa linu nan nyeri. Wajar, hampir satu jam ia tertidur di kursi rotan sambil menopang dagu lancipnya di kayu pembatas jendela.

“Ajar?’
Eyang Kurnia, nenek single berusia setengah abad lebih sewindu, tetangga lima langkah dari rumah Azhar, yang bersedia menjaga dan mengasuhnya selama ibunda Azhar, Senitya Lusiane atau sering disapa Teh Seni, bekerja sebagai Pegawai Rumah Tangga (PRT) dari jam 5 pagi hingga jam 8 malam di rumah Pak Galih Gusnawan, Dosen Biologi yang sukses membudidayakan Perkebunan Apotek Hidup di samping mengembangkan bisnis jamu dan aneka obat herbal di Kota Sukabumi sana.

Nenek bertubuh gempal itu sedikit menyembulkan wajah putih berkerutnya di balik tirai pintu kamar. “Ajar tidak apa-apa?”
Azhar menggelengkan kepala tanpa sederajatpun menoleh ke arah Eyang Kurnia.

“Ajar kenapa? Mimpi almarhum ayah lagi?”

BRUUGG!  
Sebuah lukisan potret diri ‘Aku dan Putrakukarya Azis Ajmala Rizwan, almarhum ayah Azhar, yang tergantung dekat jendela tempat Azhar berdiri, tiba-tiba terjatuh. Azhar panik, segera ia angkat lukisan kesayangannya itu, bahkan ia menempis uluran tangan Eyang Kurnia yang berupaya membantunya.

“Keluar! Ayah tidak mengizinkan Eyang masuk ke kamarku. Keluar!!” gertak Azhar seraya mendekap lukisan ayahnya.

“Belajarlah mengikhlaskan, Cucuku. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Kehilangan adalah hal mutlak yang tak bisa ditolak manusia..”

Untuk ketiga kalinya, kejadian ganjil yang disaksikan langsung oleh Eyang Kurnia sejak sebulan terakhir ini: Dua puluh tujuh lukisan karya almarhum ayah Azhar yang terpajang memenuhi tiap sudut kamar bocah tampan itu berguncang - seakan digebrak gempa berpotensi tsunami. Entah kekuatan absurd apa yang menerpa kamar 4 x 3 m itu hingga semua lukisan terjatuh berdentam-dentum mengecup lantai.

Eyang Kurnia membatu, pikirannya kusut. Sementara di bibir pintu, sosok yang paling dirindukan Azhar menampakkan wujudnya, tapi berselimut kafan dililiti tambang berkobar api.
“Ay-ayaah..” Azhar membeku di tempat. Eyang Kurnia berlari mendekap Azhar. Azhar menyelundupkan wajah dalam dekapan Eyang Kurnia. Ia ketakutan.

“Azhaar.. tolong Ayah, lepaskan jeratan tambang ini! Sakit, Nak, sakiit..” tangan pucat Azis terulur, hendak menggapai pundak putra semata wayangnya. Azhar menutup mata rapat-rapat, semakin rapat, dan..

..tangan sepanas gurun itu berhasil mencengkram pundaknya.

“Aaa.. tidaak Ayaaah!!”

***

Anggap aja adegan pembuka ini sebagai cemilan sebelum kita melahap hidangan utamanya😁

Pendek? Tenang.. baru pemanasan. Jelek? Wajar.. baru tahap belajar. Nekad? Yes, kalau gak nekad, kalau gak berani, kalau takut, kapan suksesnya?

Yang setuju, angkat jempol-pijit vote bintang sekenyang-kenyangnya!🙌

Yang menyanggah, mohon kritik memotivasi dan saran bijaksananya😊

#Afwan
Bungsu Ramadhan

AJMALA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang