Temaram lampu gantung di ruang tengah terasa begitu dingin. Gemerlap lampu ibu kota sesekali mengintip dari balik jendela kala angin AC menggoyangkan sedikit kain gorden yang menggantung. Seorang laki-laki dengan tampang kusut mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan dengan jengah. Handphone yang ia letakkan di atas meja terus bergetar memanggil-manggil. Nama Hany muncul di sana. Dengan enggan ia mengangkat handphone dari atas meja.
"Kamu kemana aja sih!?!?!" Suara seorang wanita berteriak kesal dari ujung sana.
"Maaf, Han."
"Dewa, aku udah nelfon kamu seribu satu kali kayaknya!! Ngapain sih kamu ke pesta Aleaaa!?!?" Wanita diujung sana tampak sedang bertanduk iblis saat ini andai saja Dewa dapat melihatnya.
"Aku capek, Han. Kita ngomongin ini besok-besok aja ya."
"Kamu gabisa giniin aku wa. Aku tunangan kamu. Aku berhak tau kamu pergi kemana dan sama siapa tadi." Dewa mengusap wajahnya dengan sangat lelah menggunakan telapak tangan kiri.
"I'm so sorry, Han. Udah hampir tengah malem. Lebih baik kamu tidur."
"Kita menikah dua minggu lagi, wa. Dua minggu." Dewa menghela nafas dan memijat pelipisnya perlahan.
"Iya, aku inget tanpa kamu harus ngomong kaya gitu terus. Aku belom jadi kakek-kakek pikun, Han."
"Aku lagi ga bercanda. Sikap kamu jadi aneh sejak ketemu dia." Sindir Hany dari seberang sana.
"Cukup. Udah malem. Aku mau istirahat." Dewa tidak menghiraukan kalimat yang Hany katakan selanjutnya dan memilih memutuskan sambunga telfon. Lama bergulat dengan suasana, percakapannya bersama Rana beberapa jam yang lalu seolah terus berputar di kepala Dewa.
Wanita dihapadannya saat itu tampak sedikit banyak berubah. Mungkin dari penampilannya? Dulu yang Dewa lihat hanya seorang anak sekolah mengenakan seragam putih biru dengan rambut selalu diikat ekor kuda dan kaca mata kotak yang membingkai wajah itu. Tapi sekarang berbeda. Tidak ada lagi kaca mata yang membingkai wajah, dan tidak ada lagi anak perempuan yang rambutnya diikat ekor kuda. Hanya ada seorang wanita cantik nan anggun yang mengenakan dress dan rambutnya yang dicepol telah turun beberapa helai.
"Apa kabar, na?" Wanita itu terdiam. Kemudian menatap Dewa dengan pandangan sengit, seolah siap mencabik-cabik sosok dihadapannya itu.
"Saya baik-baik saja sebelum kamu muncul lagi dihadapan saya." Jawaban klise. Dan terlalu formal. Kaku. Tapi dari satu kalimat itu banyak hal yang ingin Rana ungkapkan.
"Maaf na. Aku nggak bermaksud buat.... ngehindarin kamu." Rana diam. Setiap neuron dalam oktaknya berusaha untuk saling berhubungan.
"Maaf buat sikap aku dulu ke kamu. Maaf buat kita yang harus berakhir seperti itu, na." Rana tersenyum tipis sebelum menjawab,
"Kenapa sih wa? Kenapa baru sekarang? Kenapa ngga dua atau tiga tahun yang lalu? Atau mungkin lima tahun lalu? Kenapa baru dua belas tahun kemudian?" Nada bicara Rana mulai naik satu oktaf. Rana berusaha menormalkan detak jantungnya dan bersusah payah menahan air mata yang kapan saja siap meluncur dengan mulusnya.
"Aku baru nemu waktu yang tepat. Maaf karna aku baru bisa ketemu kamu sekarang dan ngomong kaya gini ke kamu." Dewa mengambil satu langkah mendekat ke arah Rana. Sedangkan Rana, melakukan hal sebaliknya.
"Setelah kamu lihat saya, ketemu saya, dan bicara seperti ini ke saya. Apalagi yang kamu mau?" Dewa terdiam cukup lama, dan Rana sibuk memandang gemerlap lampu ibu kota.
"Aku masih cinta kamu na. Meskipun dua belas tahun udah berlalu." Rana menatap Dewa menuntut penjelasan. Tapi kemudian Rana malah tertawa dengan sinisnya.
"Cinta? Apa tadi? Saya ga salah dengar? Dewa, harusnya kamu bilang 'cinta' ke tunangan kamu, istri kamu, pacar kamu, atau ke selingkuhan kamu. Bukan ke saya."
"Aku minta kesempatan terakhir buat memperbaiki semuanya..." dengan seribu langkah cepat Dewa mendekati Rana dan memeluknya erat. Rana hanya bisa terdiam kaku. Susah payah dia menahan air mata yang semakin menumpuk di pelupuk matanya.
"Kesempatan itu udah lewat, Dewa. Kesempatan itu udah kamu tolak 11 tahun yang lalu. Waktu saya mohon buat kita baik-baik aja. Waktu saya berusaha buat recover semua keadaan yang udah terlanjur kacau. Ngga ada kesempatan lain setelah itu, wa. saya gamau dengan bego dan tololnya biarin kamu ngehancurin semua harapan saya lagi. Cerita kita udah selesai waktu kamu bilang 'ngga ada lagi kesempatan kedua' untuk saya." Rana melepaskan pelukan Dewa perlahan. Menatap wajah Dewa yang sangat kecewa mendengar penuturan Rana.
"Maaf, Dewa. Saya ngga bisa..." kemudian Rana pergi begitu saja.
"Aku akan berusaha perbaiki kesalahan aku, Rana! Aku ngga akan berhenti begitu aja kali ini!" Teriakan Dewa berhasil membuat langkah Rana terhenti. Namun hanya sesaat. Kemudian Rana pergi menghilang dibalik pintu ballroom.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stole Your Heart
RomanceMaharany Kirana dihadapkan oleh tekanan dan perang batin menjelang pernikahannya dengan Bima. Salah seorang yang pernah begitu berarti mengisi hari-harinya kembali hadir. Menghangatkan harinya lagi melebihi hari yang lalu. Cinta pertama yang setenga...