Sebelum ia beranjak tidur, Nayla memastikan handphone nya sekali lagi. Bertanya-tanya kemana ia? Kemana orang yang selalu memenuhi kolom chat nya itu? Apa mungkin ia sudah menemukam yang lebih asyik? Nayla tidak terlalu memasalahkan hal itu, toh dia juga tidak suka. Namun tetap saja, ia dari dulu ingin memiliki seseorang yang bisa selalu ia ajak obrol setiap saat. Dengan status apa saja itu. Pacaran, sahabatan, tanpa status, asalkan bukan selingkuhan saja. Bagaimana pun sepertinya malam ini berbeda. Ia tidak berharap makhluk ini akan mengirim teks singkat untuk nya. Malam ini ia biasa saja. Ia tidak menunjukan sedikit pun gerakan mengambil buku harian kemudian menangis. Malam ini ia tidur dengan tenang. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Namun perasaan seperti ini, ia ingin menjaganya terus.
Besoknya pagi-pagi sekali ia datang. Ia membuka pintu kelas nya dengan senyuman manis di wajahnya. Biasanya menekan gagang pintunya saja butuh beberapa kali tekanan saking tidak ada niatan untuk melakukan itu. Namun hari ia tampak percaya bahwa ia akan tampil berbeda.
Pelajaran jam pertama pun dimulai. Sarah mulai mengeluarkan tempat pensil dan buku catatan kimia. Depannya, Aji, juga mencoba-coba pulpen yang bisa ia gunakan hari ini. Namun depannya?
'Kemana bocah terkutuk depan gue?'
Ia bertanya-tanya sambil berfikir kemungkinan yang terjadi.
'Telat apa sakit?' Lah napa dia jadi yang sakit?'
Lamunannya buyar ketika pintu kelas dibuka kencang-kencang oleh seorang lelaki berambut hitam lebat yang poninya menutup jidat lebar nya itu. Ia terlihat tergesa sambil mengatur nafas. Ia berjalan cepat kearah guru untuk menjelaskan yang terjadi. Kemudian ia menaruh tas-tas nya dibawah dan duduk di kursinya.
Nayla yang lamunannya buyar karenanya, tertawa-tawa melihat yang terjadi. Ia sudah biasanya melihat yang seperti ini. Biasanya dia yang tertawa paling kencang kemudian merobek-robek kertas dan melempar kearah depannya. Namun hari ini. Benar-benar mulai hari ini ia hanya tertawa kecil yang begitu terdengar manis.
Davy sedang siap-siap menerima kerusuhan dan cemoohan dari belakangnya. Namun yang kali ini ia dapatkan hanya tawaan kecil merdu dan kata-kata yang membuatnya malu.
"Kalau nyuruh orang buat tidur jangan malem-malem mestinya yang ngomong juga dong. Malu ama kebon sekolah."
Kata-kata dari belakangnya membuat ia tertawa sebentar sebelum akhirnya tawaannya itu berhenti setelah guru kimia mulai menjelaskan materi.
Satu jam lima belas menit berlalu. Guru kimia meninggalkan kelas sekaligus perasaan senang untuk anak-anak. Suasana kelas menjadi ricuh lagi sampai akhirnya seseorang berteriak dengan heboh.
"EHHH ADA RAZIA RAMBUT SAMA HP. GURU GURU LAGI KELILING BAWA GUNTING RAMBUT."
Tentu saja kalimat itu bisa membuat anak laki-laki di kelas Nayla panik terbirit-birit mengecek kepalanya, dan galeri handphone nya. Sebagian panik karena rambutnya yang melanggar peraturan sekolah.
Nayla hanya celingak-celinguk melihat keadaan kelas sebelum akhirnya ia mengomentari semua mimik wajah teman-temannya. Tak terkecuali Davy. Davy daritadi sudah memutar badan ke arah Nayla untuk melampiaskan kehebohannya.
"NAYLAAAA RAMBUT GUE. SARAAHH RAMBUT GUE. WOY JI GIMANA??"
Entah siapa yang ia ajak bicara.
"HAHAHH MAMPUS LO PANJANG RAMBUTNYA ALAY SIH." Jawab Nayla panjang dan melengking.
"Elahhh gimana donggg aduhhhhh."Davy beranjak dari kursinya dan berkeliling kelas menanyai seuatu kepada setiap orang. Sampai akhirnya dia kembali dan membawa suatu benda.
"Guntingin poni gueee pleaseeeee." Davy menyodorkan benda tajam itu.
"WHAT LO SERIUS?" Tanya Nayla memastikan.
"Iyaa gue serius! Ayok cepetan." Davy merobek kertas dari halaman kosong buku tulisnya untuk menadahi potongan rambut nanti.Dengan perasaan ragu ia mengambil gunting dari tangan Davy. Memosisikan dirinya senyaman mungkin untuk bisa fokus memotong rapih rambut nya. Ia merapihkan poni panjangnya dan mulai mengguntingnya. Tangannya gemetar sekali karena mungkin terlalu berhati-hati. Perasaannya tiba-tiba gugup saat mendekati lebih maju untuk memaksimalkan potongan. Sampai-sampai ia tidak bisa membedakan. Gugup karna terlalu hati-hati atau karna terlalu deket berada di depannya. Ia sempat melayang pikirannya sebelum akhirnya tersadar lagi karena yang sedang ia coba lakukan itu harus benar-benar teliti.
Saat poninya sudah pendek alakadarnya, Nayla meletakan kembali guntingnya dan merapihkan rambut Davy. Davy terdiam nurut mengikuti apa yang dilakukan Nayla. Bukannya membuat Nayla serius itu malah membuatnya sedikit terpaku. Sampai akhirnya ia buyar dari lamunannya sendiri dan kembali seperti semula.
"Makasih eh tapi pasti jelek." Ejek Davy sambil tertawa kecil.
"Eh enak aja lo udah nyusahin." Balas Nayla.***
Sepulang sekolah Davy cepat-cepat membukar pagar dan pintu rumahnya. Tampaknya ia sudah terlalu merindukan kasurnya."Assalammualaikum, Ma." Sapa Davy terhadap ibunya.
"Waalaikumsalam. Loh poni kamu kok pendek gitu?" Tanya Ibu nya heran.
"Iya tadi ada razia disekolah, aku minta tolong Nayla buat potongin."
"Oh Nayla yang kemaren yaa? Kamu ada hubungan apa sama dia?" Tanya Ibunya senyam senyum. Mencoba menggoda anaknya yang terlihat begitu lelah.
"Hah enggak ada apa-apaan kok orang cuman minta motongin."
"Tapi kok kayaknya kemaren kamu deket banget sama dia."
"Ya kan namanya juga temen, ma. Lagian dia emang deket sama semua cowok juga. Dia emang baik ke semua orang." Davy dengan entengnya menjelaskan serinci mungkin. Berusaha untuk membuat Ibunya tidak menanyakan hal-hal aneh lain.
"Ohhh jadi gitu."Davy segera naik ke lantai dua tepat kamarnya berada. Ia teringat akan satu hal besok. Reflek ia mengambil handphone nya dan mengirim pesan pertanyaan ke seseorang yang menurutnya akan menjawab pertanyaannya dengan cepat sehingga ia tak perlu lama-lama untuk memulai tidur sorenya.
***
Bunyi handphone nya ketika sedang baru di charge berbarengan dengan notifikasi yang masuk. Karena kebetulan ia sedang menggenggam benda itu ia langsung membuka dari siapa pesan tersebut berasal. Dengan mata yang ingin terpejam untuk tidur ia melihat namanya.
Davy: Nayl
Seketika matanya membesar melihat nama yang muncul. Samar-samar bibirnya tersenyum namun sedetik kemudian ia cepat-cepat menutupinya. Ia bahkan tak ingin dirinya sendiri tahu bahwa tadi ia terseyum. Ia kembali dengan raut muka datar.
"Apaan."
Ia menutup kolom chatnya tersebut beralih ke sosial media lain. Sebelum akhirnya ia tersadar bahwa ia ingin tidur. Bahwa setelah menjawab pesan tersebut ia harusnya tidur. Bukan malah memainkan hal yang lain seperti layaknya sedang menunggu jawaban.
Ketika pikiran itu terlintas dari pikirannya ia cepat-cepat menutupinya dengan pikiran lain. Sekali lagi. Ia tidak ingin dirinya sendiri tahu.
Tak lama setelah itu, pesan baru dari Davy pun muncul.
"Besok dateng gak ke acara?"
"Kenapa emangnya?"
"Pake baju apa?"
"Kepo amat?"
"Serius jir."
"Koteka."
"Sampe enggak rumah lu gue rental."
"Ya mana gue tau besok pake baju apa se reflek nya tangan mulus ini besok ngambil yang mana."
"Najis. Hehh maksud gue tuh pake seragam apa baju bebas?!"
"OH HAHAHAH." Iya tersenyum lebar. Menyadari sedari tadi ia berlagak jutek padahal itu bukan jawaban yang ada di pikirannya pertama kali.
Namun entahlah. Ia hanya ingin menyembunyikannya entah mengapa.
"Jangan ketawa cepet jawab gw pengen tidur."
"Bebas lah lu mau ngapain pake seragam mau belajar?"
"Ohh okee gitu kek daritadi."
"Yee."
"Jutek amat sih lo."Nayla tertawa kecil melihat jawaban terakhirnya. Ia ingin membalas nya. Ia sudah mengetiknya namun tak kunjung dikirim. Ia takut kalau ia balas Davy tidak akan membalasnya lagi. Karna ia pikir pembicarannya sudah selesai. Ia memutuskan untuk membacanya saja.
Sepuluh detik kemudian, Nayla kembali menyalakan handphone nya melihat pesan terakhir dari Davy seakan-akan ingin membalasnya. Namun tak mungkin. Sudah sangat telat. Oh sudahlah, Nayla. Mengapa tidak ketujuan awal? Tidur?
Biasanya kalau Davy mengirimnya pesan ia sangat malas untuk menjawab walau tetap saja ia tak pernah menganggurkan pesan orang. Karna sudah seratus persen kalau Davy akan menanyai tentang tugas atau materi yang ia belum paham. Nayla demi Tuhan ia begitu malas untuk mengetik panjang lebar menjelaskan kepadanya.
Nayla beranjak ke kasur, melebarkan selimut merah muda nya dan mulai menutup mata. Sekali lagi. Hari kedua. Ia mulai tidur lagi dengan tenang.
-to be continued-
KAMU SEDANG MEMBACA
What If?
Teen Fiction"Bagaimana kalau seandainya aku tidak pernah memulai untuk menyukaimu?" Semakin hari ia semakin tak sabar. Menunggu kalimat sederhana yang akan ia keluarkan jelas dari mulutnya. Sebentar lagi rangkaian kata itu akan terdengar jelas bahkan oleh ben...