Hazel baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambut dengan handuk, ketika melalui ekor matanya, dia melihat sosok Hikari.
Langsung saja, Hazel menuju pintu kamarnya yang memang tidak tertutup sepenuhnya dan mengerutkan kening. Hikari belum menyadari keberadaannya di ambang pintu, karena cewek berwajah oriental itu sibuk menatap kakinya sambi sesekali meringis.
"Lo kenapa?"
Pertanyaan mendadak dari Hazel rupanya mengejutkan Hikari. Terbukti dari terlonjaknya cewek itu dan berhenti melangkah. Mendesis kesal, Hikari menoleh cepat dan menatap sinis Hazel. Anehnya, Hazel tidak merasa terintimidasi sama sekali. Cowok itu hanya bersedekap, membiarkan rambutnya ditutupi oleh handuk, lantas mengangkat satu alis.
"Kaget?" tanya cowok itu tanpa rasa bersalah.
Hikari memejamkan kedua mata dan menarik napas panjang. Ketika kedua matanya kembali terbuka, cewek itu merasa sedikit risih karena Hazel menatap ke arah kakinya.
"Cewek Kakak mana?" tanya Hikari, mengalihkan pembicaraan karena tidak mau menjawab pertanyaan Hazel barusan.
Wajah Hazel terangkat dan berhenti pada wajah datar Hikari. Wajah tanpa senyum. Wajah yang terlihat tidak hidup, di mana Hazel bisa menangkap rasa kekecewaan, kesedihan dan amarah pada wajah oriental cewek itu. Sama seperti kedua mata Hikari.
Mendesah berlebihan, Hazel menarik handuk di rambutnya, lantas memutuskan untuk mengacak rambut basah itu sebagai bentuk pengeringan sederhana ala dirinya.
"Siapa yang lo maksud cewek gue, Hikari?" Hazel berdecak dan melempar handuknya ke belakang. Jatuh tepat di atas ranjang. "Luci? Dia sahabat gue. Anak sahabat kedua orang tua gue."
Hikari menanggapi dalam diam dan berkata dalam hati bahwa itu semua bukanlah urusannya. Dia hanya basa-basi bertanya tadi, karena malas menjawab pertanyaan mengejek Hazel di awal. Hikari memang kaget, teramat kaget. Tapi, cewek itu tidak mau mengakui. Karenanya, cewek itu mengalihkan pembicaraan.
"Oh." Hanya itu respon yang diberikan Hikari. Itu pun diucapkan dengan nada yang benar-benar datar dan seolah terpaksa. Membuat Hazel gemas bukan main, tapi menahan diri untuk tidak menyudutkan Hikari.
Ketika Hikari memutar tubuh dan membuka pintu kamarnya, suara Hazel kembali terdengar. Cewek itu berhenti dan menoleh. Lagi-lagi, Hikari kaget karena tingkah Hazel. Tadi karena suara cowok itu, sekarang karena kemuncullannya yang, tahu-tahu saja, sudah berada di belakang tubuhnya.
"Apa?" tanya Hikari. Dia menentang tatapan tegas Hazel.
"Kaki lo kenapa?"
Hikari tersentak. Cewek itu tidak menduga kalau Hazel tahu perihal kakinya. Yah, sejak tadi Hikari memergoki Hazel menatap ke arah kakinya, cewek itu sebenarnya sudah berasumsi kalau Hazel tahu.
"Cuma keseleo."
Hazel tidak puas dengan jawaban Hikari. Cowok itu berani bertaruh, Hikari bukan hanya keseleo. Dia yakin, pergelengan kaki Hikari pasti terkilir. Cara cewek itu berjalan sudah membuktikannya. Hikari berusaha menahan sakit yang terlihat jelas dari caranya meringis, kemudian jalannya pun agak terpincang.
"Lo terkilir, bukan sekedar keseleo biasa," kata Hazel sambil berlutut di hadapan Hikari. Hikari yang kaget ingin segera mundur, tapi tangan besar dan hangat Hazel sudah bertengger manis di pergelangan kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healer Series: The Photographer and Me
RomanceHazelio Arkarna Febrianto pertama kali bertemu dengan Hikari Mizuno di tepi jembatan, di mana sungai mengalir deras di bawahnya. Pertama kali melihat Hikari, Hazel terpesona pada kecantikan, kemisteriusan sekaligus kesedihan yang terpancar di wajah...