"Tampang lo itu udah kayak pesakitan, tau?"
Sindiran Luciana diabaikan oleh Hazel. Cowok itu hanya menopang dagu dengan kedua tangan dan menunduk menatap lantai kamarnya. Tadi, entah kenapa, jantungnya terasa seperti dikeluarkan secara paksa dari dalam rongga dadanya, begitu melihat wajah ketakutan Hikari dan juga tangis histeris cewek tersebut. Belum lagi ketika dia melihat Hikari jatuh tak sadarkan diri dan sampai sekarang, cewek itu masih pingsan di dalam kamarnya. Luciana sudah menyuruh Hazel untuk ke luar dari kamar Hikari, membiarkan Hikari seperti itu dan menunggu kesadarannya di ruang berbeda.
Dan, di sini lah mereka sekarang. Di dalam kamar Hazel yang dibiarkan terbuka. Sesekali, Hazel akan menatap ke arah daun pintu kamar yang ditempati oleh Hikari dengan tatapan cemas. Luciana sendiri tidak tahu harus berbuat apa untuk menghibur sahabatnya tersebut.
"Hikari nggak akan kenapa-napa, kok, Zel," hibur Luciana. Dia meremas pundak Hazel kuat, membagi kekuatan positif yang dia miliki.
"Gimana...." Hazel membasahi bibirnya sendiri. "Gimana kalau asumsi lo benar? Gimana kalau ternyata, Hikari memang trauma? Gimana kalau ternyata, Hikari memang pernah di...." Cowok itu memejamkan kedua mata, tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Hanya dengan memikirkan kemungkinan itu saja, sudah mampu membuat darah Hazel mendidih dan dia merasa berubah menjadi monster haus darah.
Luciana menarik napas panjang dan duduk di samping Hazel. Cewek itu mengambil sebelah tangan Hazel dan menggenggamnya dengan erat. Hazel sendiri masih bertahan menatap lantai, tidak mau memandang wajah sahabatnya sejak kecil itu. Tadi, dia sudah menghubungi sang bunda untuk memberitahu keadaan Hikari dan beliau berkata akan segera pulang.
"Kita belum tau kebenarannya, Zel," ucap Luciana sambil tersenyum. "Semoga dugaan gue salah. Kita bisa tanya ke Hikari nanti. Kenapa dia ketakutan dan histeris, setelah nggak sengaja ngeliat posisi kita yang emang rada salah."
Hazel menghembuskan napas berat. Tak lama, dia mendengar suara pagar terbuka, disusul suara mesin mobil yang dimatikan. Langsung saja, Hazel bangkit dan berjalan dengan langkah tergesa menuju pintu utama, diikuti oleh Luciana.
Ketika berdiri berhadapan dengan pintu utama yang terbuka, Hazel menghentikan langkah. Cowok itu mengerutkan kening saat melihat kedua orang tuanya tersenyum dan ditemani oleh sepasang remaja seumuran Hikari. Wajah cowok dan cewek itu terlihat mirip dan seperti Hikari, memiliki wajah khas orang Jepang. Si cewek berambut sepundak tersenyum ke arah Hazel, namun cowok berkacamata di sampingnya menatap Hazel dengan tatapan tegas.
Siapa?
"Gimana keadaan Hikari, Zel?" tanya Andini. Wanita yang sudah melahirkan Hazel ke dunia itu mendekati Hazel dan mengusap rambutnya. "Dia udah sadar?"
Hazel menggeleng. "Belum, Nda. Tadi, dia pulang dalam keadaan basah kuyup. Tau-tau aja dia pingsan dan Luci udah gantiin bajunya."
"Kamu nggak ngintip, kan?" tanya Andini lagi, kali ini dengan nada curiga. Nada suara yang membuat Hazel melongo, lantas mendengus. Memang bundanya pikir, dia cowok macam apa? Menyebalkan!
"Tante, mereka siapa?" tanya Luciana, yang mati-matian menahan tawa akibat tuduhan Andini kepada Hazel barusan. Cewek itu kemudian membungkuk, ketika sepasang remaja berbeda jenis kelamin itu telah membungkuk untuk menyapanya terlebih dahulu.
Seakan baru tersadar, Andini segera menjentikkan jari dan menoleh ke arah sepasang remaja tersebut. "Ah, mereka Yuuki Asuka dan Yuuki Asuna. Tante punya kontak mereka dari Hikari. Mereka...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Healer Series: The Photographer and Me
RomansaHazelio Arkarna Febrianto pertama kali bertemu dengan Hikari Mizuno di tepi jembatan, di mana sungai mengalir deras di bawahnya. Pertama kali melihat Hikari, Hazel terpesona pada kecantikan, kemisteriusan sekaligus kesedihan yang terpancar di wajah...