Sore ini, angin berhembus cukup kencang.
Hazelio Arkarna Febrianto atau yang akrab disapa Hazel, merapatkan jaketnya. Kamera itu menggantung di leher dan senyuman Hazel tak pernah lepas dari bibirnya yang berwarna merah. Langit jingga di atas sana begitu indah, membuat Hazel memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar untuk mengabadikan keindahan langit, sebelum pulang ke rumah.
Hazel masih kuliah. Dia sedang mengurus skripsinya sekaligus menyelesaikan beberapa mata kuliah terakhirnya. Cowok dengan tinggi seratus tujuh puluh senti dan memiliki rambut tebal berwarna cokelat gelap itu sudah memasuki semester tujuh, di sebuah universitas swasta terkenal di Jakarta. Mata tegas dan tajam namun juga memancarkan keteduhan itu warisan dari bunda dan ayahnya. Perpaduan mata yang begitu menarik dan sanggup mengambil hati siapa saja yang melihatnya.
Kata keluarganya, dia seperti saudara kembar ayahnya. Dulu, semasa ayahnya muda, ayahnya mirip sekali dengan Hazel. Bundanya saja hanya bisa tersenyum takjub dan geleng-geleng kepala ketika melihat betapa miripnya mereka. Lalu, sifat tegas dan tidak mau dibantah adalah sifat sang ayah yang diwariskan langsung kepada Hazel. Sementara itu, sejak kecil, bundanya selalu mengajarkannya untuk menjadi seorang fencer.
Hazel berhenti melangkah dan berdiri di depan jembatan. Di bawah sana, sungai mengalir cukup deras. Senyuman Hazel semakin melebar dan dia memutuskan untuk mengabadikan sungai di bawah jembatan ini di dalam kameranya.
"Yosh! Perfect!" Hazel mengangguk mantap dan memeriksa beberapa moment yang sudah dia abadikan di dalam lensa kameranya itu. Memang, selain melaksanakan tugas sebagai seorang mahasiswa, Hazel juga magang di sebuah kantor agency dan kantor majalah sebagai seorang fotografer. Hobi memotretnya itu sudah ditekuninya sejak duduk di bangku SMP.
Saat sedang mencari objek lainnya untuk difoto itulah, kamera Hazel menangkap seseorang. Seorang cewek bertubuh mungil dan mungkin hanya setinggi dadanya saja. Cewek berseragam SMA dan berambut panjang sepunggung yang diikat satu di belakang, menyisakan rambut di sisi kanan dan kirinya. Sekilas, cewek itu mengingatkan Hazel pada sosok Adashino Benio, dari anime Sousei No Onmyouji yang sedang ditontonnya.
Hazel menjauhkan kameranya. Dia menatap cewek itu lekat. Ada gurat kesedihan dan kekecewaan di wajahnya. Mata cewek itu menyorot datar dan kosong, menatap langit di depannya. Angin yang kembali berhembus kencang memainkan rambut cewek itu, lalu, Hazel membeku.
Cewek itu menoleh ke arahnya.
Cewek itu menatapnya, seperti dia yang menatap ke arah cewek tersebut.
Hazel merasa waktu berhenti berputar. Dia seolah masuk dan tenggelam dalam dunia si cewek berkuncir satu. Mata yang menyorot datar dan kosong itu seperti magnet, membuat Hazel tidak bisa memalingkan tatapan dan wajahnya dari cewek tersebut.
Cantik adalah kesan pertama yang muncul di otak Hazel. Cantik, elegan dan misterius. Hazel bisa melihat cewek itu membentengi dirinya setinggi mungkin. Mata Hazel yang tadinya membulat maksimal, terpesona pada perpaduan unik di hadapannya, kini mengerjap. Berdeham, mengutuk diri sendiri karena berdiri bagai orang tolol, menatap cewek asing di hadapannya.
Bagaimana kalau cewek itu menganggapnya ingin berbuat yang aneh-aneh?
"Mmm, maaf... gue bukan orang jahat, kok," jelas Hazel sambil meringis aneh dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus bersikap bagaimana. Cewek itu masih saja menatapnya datar dan seperti memasang sikap waspada kepadanya. "Gue nggak sengaja ngeliat elo karena gue emang lagi cari objek yang bagus untuk difoto. Gue... fotografer."
Cewek berkuncir satu itu mempertahankan tatapan datarnya. Hazel melirik sekilas ke arah kaki cewek SMA itu dan menemukan dua buah koper di masing-masing sisi.
"Sebentar lagi hujan."
Hazel tersentak. Cowok itu mengerjap dan fokusnya kembali pada wajah cewek tersebut. Suaranya yang lembut dan dingin seperti alunan musik tersendiri untuk Hazel.
Wait! Alunan musik?! Mana ada alunan musik yang terdengar dingin?
"Gue liat di ramalan cuaca." Cewek berkuncir itu mengacungkan ponselnya dan menggoyangnya. "Lebih baik, lo cepat pergi dari sini."
Setelah berkata demikian, cewek berkuncir satu itu melangkah sambil menggiring dua kopernya. Dia berjalan tegak, nyaris terkesan angkuh. Benteng itu berdiri tinggi, begitu kokoh dan sedingin es. Perpaduan yang lagi-lagi membuat Hazel terpesona, entah kenapa.
Lalu, ketika cewek itu melewatinya, Tuhan seolah memberitahu Hazel sesuatu. Angin berhembus lagi, membuat jantung Hazel berdegup kencang ketika cewek itu berjalan di sisinya. Mata Hazel membulat maksimal, menikmati detak jantungnya yang meliar tanpa sebab, menikmati aroma bayi yang menguar menggelitik indra penciumannya, saat cewek itu melewatinya.
Ketika cewek itu sudah melewatinya, Hazel menoleh. Punggung itu terlihat rapuh. Benteng itu hancur di kedua matanya, berganti dengan reruntuhan yang terlihat menyayat hati.
"Siapa... lo...?" tanya Hazel, lebih kepada dirinya sendiri.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Healer Series: The Photographer and Me
RomantizmHazelio Arkarna Febrianto pertama kali bertemu dengan Hikari Mizuno di tepi jembatan, di mana sungai mengalir deras di bawahnya. Pertama kali melihat Hikari, Hazel terpesona pada kecantikan, kemisteriusan sekaligus kesedihan yang terpancar di wajah...