Penjara

91 15 38
                                    

"Ah ...." wanita itu mendesah, "Hai, Kawan-kawan, selamat datang." Setelah menyapa tanpa malu sama sekali malah terus melanjutkan pergumulan.

Glek! Royan menelan ludah, menatap Domi berwajah merah, sungguh tidak tega. Ia yakin amarah kawannya sedang memuncak dan hampir meledak.

Siapa tidak sakit hati melihat kekasih yang setiap hari menggoda imaji, tidur pun terbawa mimpi sedang bersama pasangan lain memadu kasih di depan mata.

Luka hati karena mendapat kabar Nayla mati kini terhapus, namun gantinya perasaan terbodohi, dikhianati lebih nyeri dari kabar kematian itu sendiri. Ini nyata, dan tidak bisa dinafikan lagi.

"Sialan!" Domi mengumpat, gigi bergeretak begitu mengatupkan rahang.

"Nayla!" sekali hentak, kedua tangan yang dipegangi terlepas. Langsung meloncat hendak memburu singgasana berbentuk kasur.

"Tangkap dia!" Lelaki tua bersama Nayla tidak membiarkan begitu saja.

Domi melakukan perlawanan, hingga pertarungan tidak dapat dielakan. Satu lawan lima.

Buk! Pukulan Domi telak mengenai rahang penyerang pertama hingga terjungkal, tapi di belakang dua orang menyeruduk.

"Belakang!" Sandi baru kali ini bicara, memperingatkan.

Huh! Domi merunduk menyambut. Buk! Buk! Pukulan mengenai bagian atas tempat vital.

"Ahk!"
"Ahk!" dua orang terpelanting menumbuk meja kayu hingga patah.

Bres! "Akh!" Tanpa diketahui sebuah belati menancap di punggung tiba-tiba.

"Domi ...." Briana berontak dari tangan penawan begitu lawan berhasil membokong kawan. Tapi tidak berhasil.

"Hahaha ...." Rustum tertawa menciutkan nyali, "Banyak gaya juga kau Si Gagal Cintah." ledeknya mencabut pisau yang tertancap di badan, membuat Domi meringis ngilu lalu ambruk.

"Heheh ...." dengan terhuyung Domi mencoba bangun, mundur dua langkah, "Panglima macam apa berani membokong lawan. Tidakkah punya sifat kesatria!?"

"Hahaha, kesatria? Ayolah, itu tindakan cerdas. Heheh." Rustum terkehkeh, baginya kemenangan adalah kemenangan. Tidak peduli keji atau adil cara meraihnya.

"Jika Sang Panglima sebegitu pecundang. Bagaimana lagi prajurit bawahannya. Hahah." Domi memancing amarah Rustum, tidak peduli darah merembes di punggung.

"Hssh ...." Rustum mudah terpancing. "Besar juga cangkemmu, anak muda. Akan kujajal kau!"

Tring! Belati dilempar. Dua orang berputar pasang kuda-kuda. Sungguh duel yang tidak adil. Rustum berbadan besar lagi kekar melawan Domi bertubuh kecil.

Hyat! Domi menyerang pertama, bahu Rustum yang terbuka menjadi sasaran.

Buk! Tapi lawan bergeming, menyipitkan mata meledek.

Buk! Buk! Tetam diam, mencebik bibir.

Duak! Tinju Rustum serta merta melayang mengenai perut, Domi terlempar kuat.

"Akh!" darah semakin banyak keluar mewarnai tembok ruangan. Keadaan hening, Rustum berjalan mendekati lawan yang lunglai.

"Hahaha. Kuhabisi kau, brengsek!"

"Sstt ...." melihat kawan dalam bahaya, Sandi memberi kode pada Rama yang di samping. Rama tanggap mengangguk, memicing mata melihat keadaan. Semua perajurit sedang fokus menyaksikan duel.

"Ehm!" Rama berdehem, dan Duk! Serempak Sandi dan Rama menyikut dada pengawal yang mencengkram tangan di belakang dan memukul mampus kedua centeng itu.

"Akh!" tindakannya diikuti Royan, Iki, berikut Briana. Mereka berlima lalu melingkar waspada.

"Lampu!" Royan memberi perintah menggerakan kepala ke arah gelanggang duel.

Tepat! Di atas Rustum terdapat lampu mewah menggantung, bila sesuatu berhasil memotong talinya, lampu terjatuh menimpuk kepala si Panglima.

Hap! Tring! Sandi melempar belati yang dipungut dekat tubuh pengawal tadi, tapi sayang malah mengenai tembok.

"Sialan!" umpat kesal pemuda hitam itu mendapati sasaran meleset.

"Aaakhh!!" Rustum berteiak keras mengejutkan, rupanya belati yang dilempar Sandi mengenai tembok memantul dan mengenai tepat bola mata si Panglima.

"Domi!" Teriak mereka bersamaan memanggil begitu melihat Rustum terkapar. Domi susah payah bangun, sekuat tenaga memburu kawan-kawan.

"Tangkap mereka!" kini Si Raja Tua mulai kesal juga setelah melihat panglima guling-guling kehilangan sebelah mata. Serempak prajurit pun memburu Rama dan teman-temannya.

"Cepat! Cepat!" Rama membantu Domi berlari, Royan di depan memimpin jalan. Iki, Sandi, dan Brianna sebagai tameng di belakang.

Langkah keenam pemuda itu tergesa-gesa melewati lorong demi lorong yang sudah gelap kembali. Royan meraba-raba dinding tembok mencari saklar.

"Sialan!" Namun nihil, dinding lorong ini bukan seperti bilik rumahnya.

"Mereka semakin dekat!" Brianna memperingatkan.

"Pi ... pintunya tertutup!" Kaget Royan begitu sampai di ujung mendapati mulut lorong terkatup.

Kepanikan melanda mereka, "Tidak ada jalan lain. Kita harus melawan!" Rama pasang kuda-kuda setelah mendudukan Domi, begitupun yang lainnya.

"Tangkap!" titah ketua prajurit yang seperti terbiasa dengan ruangan gelap.

Buk! Buk! Perlawanan sana-sini diiringi dengus dan pekik. Karena tidak seimbang dan keadaan menguntungkan pihak lawan, tidak lama Rama dan kawan-kawan tertangkap. Mereka dibawa ke hadapan si Raja Tua.

"Bawa semua ke penjara! Kita membutuhkan mereka." Lelaki Tua tersenyum kecut, tapi tidak lama mukanya merah.

"Mana satu orang lagi!?"

Hal itu membuat prajurit gelagapan, Rama dan teman-teman pun berpandangan. Siapa yang tidak ada?

"Royan ...." bisik Domi dengan lemah.

"Cari sampai dapat, dia tidak akan bisa keluar! Hahaha."

Para prajurit berhamburan mencari Royan. Sementara Domi dan kawan-kawan dipenjara dalam sebuah tempat mirip goa tertutup jeruji besi. Tidak ada cahaya, benar-benar pengap.

Di penjara, Brianna dan yang lainnya membaringkan Domi di atas tanah. Dengan sobekan-sobekan baju mencoba membalut luka kawannya.

Sungguh mengharukan, satu orang satu sobekan. Kain-kain sobek berbeda warna itu sambung-menyambung, melilit, membalut tubuh kawan yang terluka. Inilah persahabatan.

PalanglarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang