Bagian Dua

483 20 0
                                    

"Semua ini tidak lebih. Memang, atau mungkin belum saatnya aku menyakinkan hatiku sendiri." 
-Darwin-

***

"Inkaaa," samar-sama terdengar suara perempuan dengan lembut.

Kedua mata Inka terbuka lebar setelah beberapa kali mengerjap. Inka menyipitkan matanya saat bayangan perempuan tersenyum kearahnya. Ia mengucek kedua matanya dan tersenyum setelah melihat jelas siapa perempuan di hadapannya sekarang.

"Bangun, bersiaplah sekolah." perintahnya lembut.

"Baik Bun," Inka menggeliat sekali lagi dan mulao beranjak bangun dari tempat tidurnya.

Inka melangkah menuju kamar mandi. Setelah mandi dan selesi memakai seragam, Ia pun keluar dari kamar dan turun menuju lantai bawah.

"Sarapan dulu ya, nak." perintah Bunda lagi saat Inka berjalan kearah meja makan.

"Ayah kapan pulang?" tanya Inka sebagai awal pembicaraan dipagi hari.

"Sarapannya dihabiskan ya," Bunda tidak menjawab, justru mengalihkan pembicaraan.

Kedua orang tua Inka memang sudah lama berpisah. Namun sesekali Ayah Inka suka menginap dirumahnya lantaran melepas rindu antara anak dan Ayah. Inka adalah anak satu-satunya. Dan sekarang Inka hanya tinggal bersama Bunda nya dirumah sederhana ini.

"Sudah beberapa kali ini Bunda selalu mengalihkan pembicaraan. Inka kangen sama Ayah Bun,"

Bunda Rani diam. Ia meletakan sendoknya di pinggir piring dan menatap Inka dengan sedih. Bunda Rani masih belum bisa menyembuhkan rasa sakit setelah berpisah dengan Suaminya tiga tahun yang lalu. Lantaran ada orang ketiga, membuat hatinya tersayat dan kepercayaannya di hempaskan begitu saja. Sampai sekarang Bunda Rani hanya mempunyai Inka. Tidak ada niatan untuk menikah lagi, meski Inka sudah mengizinkan Bunda Rani untuk menikah.

"Inka," ucapnya lirih. "Bunda nggak bisa melihat Ayah kamu lama-lama disini, nak."

"Tapi waktu itu Bunda izinin Ayah masuk,"

"Bunda. Terpaksa." ucapnya dengan nada tertekan.

Inka terdiam. Ia mengira kala itu Bunda Rani benar-benar sudah memaafkan Ayah Inka.

"Jadi...Bunda berbohong."

"Sudahlah Inka, Bunda nggak mau bahas ini lagi. Kamu boleh bertemu dengan Ayahmu. Tapi jangan dirumah ini." ucapnya dengan nada tegas dan pelan. Kemudian Bunda Rani pergi meninggalkan Inka sendirian.

Bulir air mata turun dan menyentuh kedua pipi Inka. Hanya Ayahnya yang membuat dia merasa semangat disaat semua orang menjatuhkannya. Termasuk teman sekolahnya, sejak dulu. Bunda Rani hanya menasihatinya dan memberi semangat dirumah. Tapi Ayahnya, justru menemui orang yang sudah berani membully Inka, memarahinya dan memberi peringatan agat tidak membully Inka lagi.

Bulir itu turun semakin deras. Inka sangat merindukan Ayahnya. Sekarang hidupnya begitu hambar tanpa seorang Ayah. Inka melewati hari-harinya dengan hampa dan tangisan. Tak ada lagi yang memberinya semangat penuh.

Inka menghapus air matanya. Ia meneguk minumannya dan beranjak dari meja makan.

"Inka berangkat, Bun!" teriak Inka dari ruang tamu.

Tak ada jawaban.

Inka mengira kalau Bunda Rani sedang dikamar atau di taman belakang.  Menghela napas, Inka melangkah menuju pintu dan bergegas berjalan menuju halte Bus.

Dibalik tirai jendela kamar, Bunda Rani memperhatikan punggung Inka yang mulai menjauh saat di tikungan. Wanita itu menghapus air matanya dengan lembut. Rasa sesak kembali menjalar keseluruh tubuhnya, bersamaan masa lalu itu terasa datang kembali.

Nerdy, I Wuf YouWhere stories live. Discover now