Sarapan sudah tersedia di atas meja. Aku dan Tari, teman sekamarku yang menyiapkannya. Tari berteriak memanggil adik - adik yang hendak sekolah. Mereka berlarian menuju meja makan, beberapa masih menggunakan dasi sambil berlari.
Aku tertawa, melihat tingkah mereka. Kubetulkan dasi Arfan, anak lucu yang dititipkan di pintu panti saat masih berusia 3 bulan. Aku masih SMP saat itu. Setidaknya aku masih lebih beruntung dari Arfan, Mama dan Daddy bukannya tidak menginginkanku. Tapi Tuhan sangat menginginkan mereka.
Banyak yang bertanya, kemana harta benda peninggalan Daddy dan mama. Semuanya masih ada di rumah kami, rumah yang tidak lagi kutinggali. Rumah penuh kenangan dan cinta dari kedua orangtuaku.
Bude Desi, menitipkanku di panti karena tak mampu mengurusku. Suaminya hanya seorang supir truk di kampung. Penghasilannya sangat kecil, bahkan masih kurang kadang-kadang. Khawatir aku lebih terlantar jika dengannya, bude Desi pun membawaku kemari. Rumahku ditinggalkan begitu saja. Semua yang kumiliki dari Daddy, digunakan untuk membantu keuangan panti. Itu keputusanku, karena 15 tahun sudah aku disini. Kadang panti kekurangan donatur.
Hanya rumah yang tersisa, bu Lestari bilang itu untuk aku jika sudah menikah nanti. Jika aku ingin tinggal disana bersama keluarga kecilku. Aku tersenyum membayangkannya.
Aku naksir senior di tempat kerja, tapi dia sudah punya pacar. Kadang dia menggodaku, kadang juga menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Meski malu-malu, sering juga aku terima tawarannya. Hingga suatu hari, pacarnya menelponku. Dan meminta aku untuk tidak dekat-dekat lagi dengan cowoknya.
Di umurku yang 20 tahun ini, aku belum pernah pacaran. Sekedar naksir, lalu tidak berani mengungkapkan. Tari kerap menggodaku, mengatakan bahwa aku terlalu pemalu.
"Percuma wajah indo, kamu kikuk banget." Tari menggodaku, setiap kali aku bercerita tentang cowok yang aku taksir.
"Savannah!" Tari memanggilku, sarapanku belum tersentuh.
"Kenapa Tar?"
"Abis sarapan ke ruangan bu Les!" Katanya, dia sering memanggil ibu asuh kami dengan sebutan Bu Les.
"Tar, kamu masuk apa?" Tanyaku lagi.
"Siang, kamu?"
"Sama, yaudah bareng ya. Hehe." Tari mengacungkan jempolnya dan segera menggiring adik-adik untuk berangkat sekolah.
Aku dan Tari bekerja di Mall yang sama, Tari seorang SPG di toko parfum sedangkan aku bekerja di restoran cepat saji. Jika jadwal kerja kami sama, aku akan menumpang motor Tari ke mall. Dan janjian lagi untuk pulangnya.
Aku segera menemui bu Lestari, orang yang selama ini menjadi sosok ibu bagi kami para penghuni panti.
"Masuk Savannah, sini nduk." Bu Lestari menyuruhku masuk, air mukanya tenang seperti biasa. Seraya membetulkan jilbab besar yang dikenakannya.
"Ada apa bu?" Tanyaku, sembari duduk di hadapannya.
"Barusan, orang dari Kedutaan Besar Amerika telepon. Mereka tanya-tanya tentang kamu." Bu Lestari menunggu reaksiku, aku hanya terperangah."Ada seseorang dari Amerika, yang mencari kamu. Ada yang kamu ingat gak kerabat dari sana?"
Aku menggeleng, sepagi ini orang Kedutaan telepon. Apakah sifatnya urgent? Kerabat dari Amerika? Kesana saja aku belum pernah, yang kutahu hanya mama saat belum mengandungku yang pernah kesana bersama Daddy.
"Ibu pastiin jika itu saudaramu, dia harus bawa dokumen pendukung yang membuktikan hubungan darah dan hukum denganmu." Bu Lestari melanjutkan, aku hanya mengangguk.
Bude Desi pernah bercerita saat lebaran lalu, ketika aku berkunjung ke Solo. Daddy seorang duda saat menikah dengan mama. Kerabat daddy di Amerika sudah tidak berhubungan lagi dengan daddy. Jadi kecil kemungkinan jika ada keluarga dari pihak daddy mengingatku. Mungkin tahu aku ada saja tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Hollywood!!
RomanceSavannah Gates lost his parents since the age of five and had to live in an orphanage for fifteen years. And with a heavy heart must give up her dream as a fashion designer because of limited funds. But one day, a foreign man looked for her in an or...