Part 1

3.6K 233 3
                                    

Siang itu Allea memasuki kamar Ara dengan terburu-buru, tebakannya benar, Ara masih menikmati mimpi indahnya disaat hari sudah mulai siang bahkan sinar matahari sudah menembus jendela tebal dari kamar Ara.

Kamar Ara terletak tepat menghadap jalanan depan perumahan, berhadapan dengan balkon kamar Dave teman satu kampusnya. Kamarnya cukup sederhana disertai hiasan boneka-boneka pemberian Hawa dan Allea, didalam kamarnya terdapat walk in closet yang seringkali dijadikan idaman banyak teman perempuannya, tiap jendela rumah mereka diberi kaca anti peluru untuk melindungi bahaya yang sewaktu-waktu bisa datang, bahkan tiap ruangan terdapat kamera pengintai yang tersambung dengan komputer ruang kerja Allea maupun handphone Allea sendiri.

"Ara," panggil Allea sambil menepuk pelan lengan Ara. Ara melenguh pelan lalu menepis tangan Allea yang terus-menerus menepuk pelan lengannya. "Kamu kuliah jam berapa? ini udah jam 11 siang," ujarnya lagi.

Mendengar ucapan Allea, Ara terbangun dan dengan cepat mulai mengumpulkan nyawanya yang masih berkeliaran di alam mimpi, ia menyambar handuk yang berada di tangan Allea.

"Eh mau kemana kamu? itu handuk kakak."

"Maaf," sahut Ara pendek sambil melemparkan handuk yang tadi ia ambil dari tangan Allea. Allea menggeleng pelan menatap adiknya yang berlarian kecil memasuki walk in closet.

Allea keluar dari kamar adiknya lalu turun ke ruang makan, ia menemukan Hawa yang tampak sedang menyiapkan makan siang mereka. Allea menatap wajah lelah ibunya sambil tersenyum kecil, tak bisa dipungkiri wajah ibunya tetap cantik walau usianya hampir memasuki kepala 5. Hawa yang menyadari tatapan Allea langsung membalas tatapan putrinya lalu berdeham kecil menyadarkan Allea dari lamunan, ia menghampiri Allea lalu membelai pelan rambut lurusnya yang kala itu masih setengah kering usai keramas. Hawa memeluk Allea penuh kasih sayang, mengecup manis ujung kepalanya lalu tersenyum tulus sambil menengadahkan kepalanya keatas, mengucapkan puji syukur dengan suara pelan namun jelas terdengar ditelinga Allea. Dari lantai 2, Ara menatap pemandang indah tersebut sambil tersenyum, mengulang ucapan Hawa tentang rasa syukurnya karena masih bisa bertemu kakaknya setelah 1 minggu yang lalu tak bertemu.

"Ada apa ma?" tanya Allea menatap ibunya heran.

"Tidak, mama senang kamu pulang selamat."

"Ma. Allea bisa jaga diri, berapa kali lagi Allea harus ngulang itu?"

Ara menuruni tangga perlahan sambil bersiul kecil, menatap ibunya sebentar lalu berganti ke kakaknya yang membalas tatapannya dengan heran. Ia duduk berhadapan dengan Allea lalu mengambil makan siangnya yang sudah disiapkan Hawa sejak tadi.

"Gimana kak di Semarang?" tanya Ara mencoba membuka obrolan di ruang makan.

"Makanlah terlebih dahulu, tidak sopan," ujar Allea dingin, lalu beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan ruang makan, tujuannya saat itu adalah balkon kamarnya.

Allea memasuk kamarnya malas, berjalan perlahan ke balkon seraya mengambil sebatang rokok di atas laci nakas dekat jendela kamarnya. Api menyala di ujung rokoknya, ia menghirup perlahan nikotin miliknya lalu menghembuskan cincin-cincin asap yang cukup tebal. Membuang segala masalah pekerjaan yang memenuhi pikirannya, perlahan ia menendang meja kecil yang biasa ia gunakan untuk meletakkan asbak. Pikirannya dipenuhi oleh cadangan peluru untuk senjata apinya yang berada di Semarang, kunjungannya di kota lumpia selama seminggu belum cukup untuknya, ditambah lagi serangan secara tiba-tiba saat ia akan kembali ke Bandung. Kesunyian menerpanya, ia melamun memandang ke balkon tetangga depannya.

Dangerous WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang