7

37 8 0
                                    

"Aku pulang, Ibu."

Hawa membuka pintu rumahnya, kemudian menutupnya rapat-rapat. Ia melepas sepatunya, dan meletakkan pada rak didepannya.

"Ibu, setelah minum jangan dibiarkan saja. Bersihkan juga sampahnya." ujar Hawa pelan.

Ibunya tergeletak di sofa dengan penampilan acak-acakan. Di lantai pun banyak kaleng bir berserakan. Hawa mendesah pasrah sambil memunguti sampah-sampah di lantainya itu.

"Ibu terlalu bekerja keras, sampai seperti ini." gumam gadis itu.

"Ah.. Jangan banyak bicara kau.." lenguhan Ibunya terdengar seiring dengan suara keras dari pukulan kaleng di kepala Hawa.

Hawa hanya diam. Tatapannya kosong. Dia tidak menangis, mungkin air matanya sudah habis.

"Aku akan membersihkannya, tidurlah." ujar Hawa.

Gadis itu memasukkan sampah kaleng bir pada kantong plastik hitam. Dia beranjak untuk keluar, membuang sampah itu ke pusat sampah.

Dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya, ia keluar dari rumahnya sambil membawa kantong tersebut.

"Idiot?"

Hawa terkesiap saat ia mendengar suara seseorang yang menegurnya.

"A—autis?"

Laki-laki yang menegur Hawa itu melirik tajam ke arah kantong plastik besar yang dibawa gadis itu.

"Kaleng bir? Kau, mabuk-mabukan?" tanya laki-laki itu.

"Bu—bukan, ini—"

"Kau, gadis yang tadi? Kau ternyata suka seperti itu?" suara lain terdengar lagi, kali ini dari laki-laki berambut merah.

"Ini bukan milikku. Aku bisa menjelaskannya." sangkal Hawa.

Kedua laki-laki itu berpandangan, kemudian mengangguk. "Baiklah, ayo ikut kami."

————

"Ini masalah keluargaku, Adam." ujar Hawa di depan kedua laki-laki itu. Saat ini mereka sedang berada di sebuah cafe kecil.

"Keluargamu?" ulang laki-laki bernama Adam tersebut.

"Kau bisa menceritakan pada kami." ujar laki-laki berambut merah itu pelan.

Adam menyikut temannya itu, "Tidak perlu, Sariel. Itu masalah pribadi, kita bukan siapa-siapa, mungkin dia tidak mau—"

"Aku akan bercerita." potong Hawa.

Adam dan Sariel kemudian diam mendengarkan.

"Broken home, kalian pasti pernah mendengarnya. Ibuku bercerai dengan Ayahku karena masalah kecil, sehingga hal itu membuatku tinggal berdua dengan Ibuku. Ibuku sangat depresi sehingga melakukan pekerjaan tidak baik." ungkap Hawa.

Mata Hawa berubah menjadi sendu, "Ia bekerja menjadi wanita penghibur di sebuah bar."

"Kau—jadi, itu semua ulah Ibumu? Maksudku, kaleng-kaleng itu?" tanya Adam.

Hawa mengangguk. "Ia menjadi sangat liar. Pulang subuh dengan keadaan mabuk. Selain itu, dia membawa beberapa kaleng bir di tasnya. Dan saat kalian berdua memergokiku tadi, aku sedang membersihkan sampah milik Ibuku."

"Aku tidak tahu ternyata kehidupanmu seperti itu." gumam Sariel.

Hawa terdiam. Ia memandang Sariel dengan dalam.

"Maaf, kau...siapa?"

Bagaikan terkena sambaran petir, Sariel tersentak. "Aku Sariel! Aku orang yang meminjam buku Fisika tadi di perpustakaan! Kau lupa, ya?"

"Maaf, tapi aku tidak ingat." sahut Hawa datar.

Sariel menepuk dahinya, "Kau lihat itu, Adam? Sepertinya mustahil." bisiknya pada Adam.

Adam mendengus mendengar pengaduan itu.

"Jadi, apa yang kau inginkan?" tanya Adam.

"Aku ingin kalian berdua tutup mulut tentang hal ini." sahut Hawa datar.

Sariel sedikit mengernyit, "Tunggu, kau tidak menangis?"

"Hah?"

"Kau bercerita tentang keterpurukanmu, tetapi kau tidak merasa sedih?" ulang Sariel.

"Sedih? Aku tentu merasakannya. Tapi, menangis? Untuk apa? Ini bukanlah hal yang akan bisa diselesaikan dengan tangisan. Buang-buang waktu." balas Hawa dingin.

"Kau ini memang kuat, atau pura-pura kuat?" gumam Adam.

"Apa?"

"Kau menyembunyikan sesuatu." timpal Adam lagi.

"Apa maksudmu?" tanya Hawa.

"Kalau kau tidak mau mengungkapkannya sekarang, tak apa. Tapi, kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kau bisa bercerita kepada kami."

Hawa terdiam mendengar penuturan Adam. Sedangkan Sariel memandang mereka berdua dengan tatapan bingung.

"Terima kasih atas minumannya. Aku pulang dulu." ujar Hawa.

Sebuah tangan menarik kerah Hawa sehingga Hawa tercekik dan membalik, "Apa yang kau lakukan, autis!!"

"Hidungmu, berdarah."

Jari lentik Hawa menyentuh permukaan hidungnya dan mendapati cairan merah kental mengalir dari sana. Dia tersenyum.

"Ah, ini. Ini mungkin karena pukulan kaleng Ibu—"

Ucapan Hawa terhenti seiring dengan terhuyungnya tubuhnya ke arah kedua laki-laki itu.

"Hawa!!!"

Little Feeling with IntrovertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang