"Ajari aku caranya menghidupkan karakterku," ujarmu suatu hari.
Aku terdiam sejenak. Meletakkan gawai hitamku dan duduk menghadapmu. Menyusun kata sambil menyelam ke dalam mata cokelatmu.
"Setiap cerita sama saja dengan karya seni lainnya," mulaiku. "Dan ... sebuah seni bukanlah apa-apa tanpa kamu yang menciptanya dan mereka yang memberinya nyawa."
"Ajari aku menulis sepertimu," balasmu. "Ceritamu punya nyawa, bahkan sebelum siapapun membacanya."
Aku termenung. "Semua itu tidak instan. Butuh jam terbang yang banyak."
"Aku tidak paham."
"Aku bisa mengajarimu menyetir. Pindah gigi saat mesin terasa bekerja terlalu keras. Injak rem perlahan-lahan agar mobilmu berhenti dengan halus. Tapi pada praktiknya nanti, kamu akan menghadapi banyak hal yang tidak bisa kuajari. Hal-hal yang memerlukan insting dan perasaan yang kuat."
Kamu terdiam, entah mengerti atau tambah tersesat.
"Seni tidak bisa dibuat hanya berdasarkan teori. Dalam matematika, satu tambah satu adalah dua. Dalam seni, satu lingkaran tambah satu lingkaran bisa jadi donat, atau lubang hidung, atau pupil mata."
"Apa hubungannya ...?"
"Setiap seni diciptakan berdasarkan kreativitas dan perasaan, bukan teori dan persamaan." Aku mengambil gelasku dan meneguk cairan di dalamnya.
Kamu masih terdiam. Dan bisumu membuatku ragu.
"Kamu ingat tidak lukisan yang hanya merupakan suatu nuansa biru pekat dan terjual dengan harga mahal?" tanyaku saat balasmu masih belum terdengar.
Kamu mengangguk. "Jelas. Hal itu terasa irasional."
"Benar," ujarku. "Tapi kamu tidak melihat apa yang dilihat sang Pembeli."
Lagi-lagi ucapanku dibalas diam. Kamu sedang berusaha memahami. Rasa-rasanya, aku ingin tertawa melihat wajah bingungmu.
"Siapa tahu, si Pembeli adalah seorang penyelam, dan nuansa biru itu mengingatkannya pada suasana yang membungkusnya damai waktu itu. Atau, ia adalah penerbang, dan biru itu mengembalikan memorinya tentang saat ia melayang di atas bumi; hanya dia dan langit. Kamu tidak tahu itu."
Aku menyesap minumku sejenak, membiarkan kata-kataku meresap pada otakmu. "Sebuah lagu, misalnya, dibuat dan didengarkan satu juta orang. Maka akan ada satu juta alasan setiap orang ini menyanyikan lagu itu. Aku pernah mendengarnya dari seorang penyanyi.
"Satu orang menyanyikannya karena itu lagu kenangannya dengan mantannya. Yang lain melantunkannya karena lagu itu diputar sebanyak empat kali dalam satu kali macet. Orang lain malah menggumamkannya setiap hari karena itu lagu kesukaan pacarnya. Kita tidak tahu, kan?"
"Jadi ...," ujarmu, masih terdengar ragu, "apa jawabannya?"
"Setiap seni mendapat nyawa dari perasaan yang tertuang ke dalamnya." Aku kembali meraih gawaiku. "Setiap karakter memperoleh hidup dari setiap kisah yang melatarinya."
Kamu masih termenung. Aku bangkit, membiarkanmu memahaminya.
Bahwa setiap seni pasti memiliki kehidupan yang memberinya nyawa dan membiarkannya bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serunai Kata
PoesíaApa kau tahu semua kata ini kutuliskan hanya untukmu? Warning: buku ini makin ke belakang makin banyak curcol nya. [#101PO 120217]