Di sana kamu berdiri, bahkan tanpa menatapku barang sedikit pun. Padahal jarak kita tak kurang dari empat meter, tapi seolah kamu empat benua jauhnya.
"Katakan sesuatu, kumohon."
Tapi kamu diam. Pintaku seolah memasuki telinga orang tuli.
"Apa sebenci itu kamu padaku?"
Dan memang diammu sudah menjawabku. Kamu benci aku, padahal akulah yang lebih layak membencimu.
Tapi lihat aku. Di sini, memohon padamu untuk tidak meninggalkanku. Masih rela membuka ruang untuk mengampunimu, meski hati telah koyak karenamu.
"Aku harus pergi," katamu, masih tidak mau menatapku.
Sehina apakah aku sehingga kamu tidak mau melirikku barang satu detik?
"Selamat tinggal."
Aku terpaku di tempat, saat kulihat bayangmu telah menjauhiku.
Sakit.
Bukankah dulu kamu yang selalu memuja dan memujiku dengan kalimat-kalimat manismu?
Kenapa kali ini kata-katamu berubah tajam seperti kapak yang membelah hatiku jadi ribuan keping yang tak mungkin lagi disatukan?
Kata-kata tak lain hanyalah alat penghancur yang paling kamu kuasai; meremukkan hatiku dalam satu frasa "selamat tinggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serunai Kata
PoesíaApa kau tahu semua kata ini kutuliskan hanya untukmu? Warning: buku ini makin ke belakang makin banyak curcol nya. [#101PO 120217]