Chapter 2

35 19 5
                                    

"Lo yang sabar ya Jihan."

Kalimat itu tak luput terdengar dari telingaku tapi apa dengan kalimat itu aku bisa tersenyum? Apa dengan kalimat itu aku bisa tertawa seperti semula?

Aku masih tetap terdiam menyaksikan batu nisan yang tertulis nama FIHAN ARISKA BINTI MUBARAK. Aku mengelus-elus batu nisan itu dengan pelan dan tak sekali-kali menyebut kata "i'll miss you ma."

Semua orang hanya bisa bilang aku harus sabar, kuat dan tegar. Tapi apa mereka bisa merasa apa yang aku rasa sekarang? Apa mereka bisa sabar disaat cobaan ini terjadi dalam waktu bersamaan? Apa mereka tetap kuat? Atau tetap tegar?

Semua orang mulai meninggalkan pemakaman. Sekarang aku disini sendirian. Aku kesepian didunia ini tanpa kehadiran malaikat yang selalu ada bersamaku hingga aku berumur 16 tahun. Malaikat yang setia merawatku seorang diri. Malaikat yang selalu sabar dalam merawatku. Aku akan merindukan mu setiap waktu Ma, I love you more and more.

Aku pulang kerumah sekitar pukul 7 malam sebelum tahlilan dirumahku. Aku berlari melintasi orang-orang yang sibuk menyiapkan tahlilan sedangkan aku menuju kekamarku.

Aku mengunci kamar dan terduduk dibelakang pintu kamarku yang gelap tak ada penereng kecuali bulan yang memancarkan sinarnya.

Air mata ini pun tak bisa tertetes lagi. Semua air mata ini sudah habis setelah menangisi semua cobaan terberat yang pernah aku alami. Jantung ini rasanya tak ingin berdetak lagi saat melihat malaikat ku telah pergi. Otak ini tak bisa berpikir jernih lagi saat semua meninggalkan ku sendirian didunia ini.

"Han, kamu gak mau makan? Dari kemaren loh kamu belum ada makan," ketukan pintu dan suara ramah khas tante Ira mendominasi ruangan yang sunyi tak memiliki kehidupan itu.

Tante Ira tak henti-henti menggedor pintu dengan keras ."Sayang, kamu masih didalam kan?" Suara yang tadi ramah sekarang terdengar menjadi khawatir disaat diriku tak memberikan respon.

"Jihan enggak laper tante."

Balasku dengan dingin lalu bangkit menuju tempat tidur.

---

Aku tersentak kaget saat hpku berbunyi dengan nyaring memasuki indra pendengaranku.

Layar menampilkan telpon seseorang yang telah menyakitiku dengan foto profil wajah dirinya dan diriku yang tak sempat aku ganti.

Dengan cuek aku tak mengangkatnya malah memeluk guling berbalut gambar monster biru bernama stitch.

Hpku tak berhenti berbunyi. 2 hari aku tak berani memegang hp disana aku lihat notif-notif bertimbulan dilayar kunciku.

"Halo Jihan? Syukurlah kamu masih mau mengangkat telpon dari aku, aku hanya ingin bilang yang belum aku sempat bilang kemaren," terdengar helaan nafas lega. Aku tetap diam tetap menjadi pendengar tanpa harus membalasnya.

"..aku minta maaf soal yang kemaren, seharusnya aku jujur dari awal, seharusnya aku tak semestinya menyukai musuh kamu hingga terjadi kesalahpahaman ini Han, aku sungguh menyesal. Dan satu lagi, aku turut berduka cita atas kepergian mama Fihan ya."

Air mata yang sudah habis terkuras tadi entah mengapa masih bisa mengalir lagi saat kalimat Dion terucap.

"Jihan, kamu harus ta---"

Aku mematikan sambungan terlebih dahulu daripada mendengar kalimat-kalimat penuh permintaan maaf dari Dion yang mengiris hatiku yang tak bisa disembuhkan ini.

"Dion, kamu tau, seberapa banyak kamu menjatuhkan air mata ini tapi aku tetap terus mencintai kamu tanpa tau kapan berhenti."

---

TBC>>>

Langkah Yang TerbayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang