Deringan bel istirahat baru saja berbunyi. Dengan gerakan seribu, Bian berlari ke kantin berharap bisa bertemu dengan Mellody hari ini. Bian memang sempurna, tapi ia tidak memiliki cukup keberanian untuk menyampar Mellody ke kelasnya.
Kemarin Bian tidak menemukan Mellody di kantin. Jadi ia berencana ke kelasnya saja sekalian. Bian bertanya pada Hana yang sedang duduk seorang diri sambil memainkan ponselnya, kemanakah Mellody pergi. Hanya dibalas gelengan kecil oleh Hana, membuat Bian kalang kabut. Sebelumnya Mellody tidak pernah bolos seperti ini. Tanpa keterangan begitu saja. Bian tahu hal itu.
Keabsenan Mellody hari itu sungguh membuat Bian panik setengah hidup. Apa dia sakit? Atau jangan-jangan kena copet di jalan? Apa abang ojeknya macem-macem sama Melo? Ck! Segera ditampisnya segala pikiran buruk yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
Bak tersambar anugerah dewa Yunani, perasaan lega berlabuh di dadanya. Dilihatnya Mellody sedang tertawa riang bersama sahabatnya ketika ia sampai di kantin. Sungguh kelegaan melihat Mellody sehat-sehat saja. Dengan langkah konsisten, Bian memberanikan diri berjalan mendekati Mellody.
Saat jauh tadi, Bian melihat keduanya sedang tertawa. Namun kini menjadi hening. Semakin dekat dengan tempat dua cewek yang sangat dikenalnya itu, samar-samar Bian dapat mendengar kata 'kunyuk' keluar dari mulut Hana. Ia tahu betul itu adalah satu-satunya panggilan untuk dirinya di SMA Nusa Dua ini. Tanda tanya besar muncul di dalam kepalanya. Apaan nih, nama gue dibawa-bawa.
Entah apa yang membuatnya berani menepuk bahu Mellody. Dan bahkan mampu bersapa ria dengan cengiran yang telah terukir dari ujung kantin tadi. "Hai".
Mellody terperangah. Benar apa yang dikatakan Hana barusan. Bian mencarinya. Kena angin apa coba ini anak. Mata Mellody memicing heran.
"Eh, hai". Mellody tersenyum kikuk. Bingung harus merespon seperti apa.
"Emm.. Lo.."
Mata Bian terus memutar. Tak kuasa menatap binar kecokelatan dari mata Mellody. Bisa meleleh Bian dibuatnya. Hal yang tadi ingin sekali dikatakan Bian ketika bertemu Mellody tiba-tiba saja lenyap tertimbun oleh kegugupan yang melanda.
Matanya tertuju pada Hana yang berada di belakang punggung Mellody. Hana menatapnya penuh selidik. Risih akan hal itu, tanpa sadar Bian menarik tangan Mellody. Membawanya ke belakang kantin, menjauhi keramaian serta menghindari menjadi pusat perhatian.
"Lo kemaren gak ada apa-apa kan? Kenapa gak dateng sekolah coba? Gue khawatir banget semisal lo ada apa-apa." Bian terus saja tancap gas. Diledakkan semua unek-unek yang terpendam sejak kemarin.
"Eh? Ehem.." Cowok itu berdehem, tersadar bahwa hilang sudah citranya sebagai cowok cool. Image yang telah ia bangun selama ini, hanya untuk Mellody. Nah loh, Melonya diem aja kan. Gue aneh banget, mesti.
"Gue gak apa-apa. Ada urusan mendadak kemarin, gak sempet ijin." Seru Mellody sama datarnya dengan tembok yang sedang disandarinya. Tak ada niatan bagi Mellody untuk mengabaikan Bian atau bagaimana, Mellody hanya bingung bagaimana bersikap di depan lelaki selain Abang dan Papanya.
Walaupun nada bicara Mellody agak tidak bersahabat, rasa syukur menyelimuti diri Bian. Tanpa disadari sang empu, wajah bian mengukir senyum lebar. Mellody yang melihatnya tambah tidak mengerti dengan cowok di hadapannya.
Kepala Bian terangguk. Tubuh tinggi tegapnya hendak berbalik sebelum ia ingat akan satu hal. Tangan kekarnya terangkat meraih puncak kepala Mellody dan mengacaknya kecil. Mellody terlonjak akan kelakuan cowok di depannya. Setahunya, ia tidak begitu dekat dengan Bian. Namun perlakuannya saat ini membuat matanya melebar. Terlebih dengan tubuh Mellody yang kini sudah berada dalam dekapan seorang Ananda Fabian Kusuma.
YOU ARE READING
MELLODY
Teen FictionMellody, si cewek yang cuma tau musik otodidak tanpa pengalaman, tiba-tiba dikejutkan dengan kehidupan 'dunia musik' yang sebenarnya. Dibantu dengan teman-temannya, Mellody bertekad melangkah jauh ke depan untuk membuat 'melodi'nya sendiri.