04 - Kevin Juaniantara Dirgantara

48 7 2
                                    

Bel pergantian pelajaran menggema ke seluruh ruang kelas. Semua siswa berbondong-bondong keluar kelas membawa perlengkapan menuju kelas selanjutnya. Buku-buku pelajaran tertumpuk rapi di atas lengan Mellody. Ia berjalan menuju kelas piano beriringan dengan Vanessa.

Headphone yang biasanya selalu dikenakan Mellody ditinggalnya di laci meja. Untuk kali ini ia harus fokus belajar mengingat perjuangannya untuk pindah ke sekolah ini.

"Gue kebelet pipis, Mel. Lo duluan aja ke kelasnya. Nanti gue susul, ya!" Wajah Vanessa sedari tadi memang terlihat gelisah. Ingin Mellody bertanya namun diurungnya karena mereka baru saja berteman selama dua hari dan berpendapat hal tersebut belum dapat menjadi urusannya.

"Oh, oke. Gue duluan, ya. Jangan lama-lama nanti gue kesepian." Mellody mengerucutkan bibirnya sehingga dirinya terlihat sangat imut. Jika saja ada cowok yang melihatnya memasang tampang seperti itu, pastilah sudah diciumnya bibir pink milik Mellody.

Dengan langkah panjang Mellody berjalan menuju kelas piano. Wajahnya tertunduk melihat tali sepatunya yang terlepas. Tapi karena waktu yang tadi sempat terbuang untuk memilah buku di loker, Mellody terus melangkah sambil memerhatikan kakinya agar tidak tersandung.

Suara langkah cepat seseorang terdengar di depan sana. Suaranya terdengar semakin dekat. Mellody mengangkat wajahnya. Dalam jarak 10 meter dari tikungan koridor, Mellody melihat seseorang dengan tas gitar menggantung di punggungnya sedang berlari.

Kalo sampe tabrakan dan buku gue jatuh ke lantai pasti bakal drama banget. Apalagi kalo sampe ditolongin ngambil buku. Imajinasi liar Mellody tiba-tiba datang entah dari mana. Entah karena terlalu banyak menonton ftv atau karena terlalu banyak membaca novel. Semuanya dibuat drama.

Bruk!!

Benar saja. Tubuh Mellody luruh ke lantai beserta buku-bukunya. Hidupnya memang penuh drama ternyata. Hm, kalo udah gini dia pasti nolongin gue. Hahaha. Mellody terdiam, membiarkan imajinasinya menjadi realita.

Hal yang ditunggu-tunggu Mellody tak kunjung terjadi. Wajahnya terangkat mendapati cowok yang tadi menabraknya meneruskan pelariannya yang entah kemana. Merasa jengkel, Mellody bangkit dan segera menata buku-bukunya. Ia melanjutkan perjalanannya dengan sedikit hentakan di tiap langkahnya.

Mellody memasuki ruang kelas yang bisa dibilang luas dengan tiga buah piano berwarna putih berdiri kokoh di atas panggung. Matanya menjalar ke sudut kelas mencari ruang kosong untuknya duduk dan menemukan tiga kursi kosong di belakang. Segera ia meletakkan buku-bukunya di atas meja dan duduk di kursinya. Tak lama kemudian, Vanessa datang dengan napas terengah yang bisa dipastikan bahwa ia habis berlari. Vanessa mendudukkan tubuhnya di sebelah kursi Mellody. Sekarang tersisa satu kursi lagi.

Sudah dua hari ia masuk di sekolah barunya. Di setiap kelas yang Mellody datangi, selalu tersisa satu kursi kosong. Hal itu cukup membuatnya penasaran tapi tak sampai ia mau repot-repot untuk menanyakannya. Tidak terlalu penting juga menurut Mellody.

Kelasnya berlangsung dengan tertib. Fokus setiap muridnya tertuju pada seorang guru yang sedang memainkan Nocturne Op 9 di atas panggung. Harus didengarkan secara saksama karena nanti akan dipraktikan oleh masing-masing anak.

"Ehem. Seperti biasa, saya akan mempersembahkan lagu ciptaan saya sendiri untuk para pendengar sekalian. Silahkan dinikmati." Suara yang berasal dari speaker kelas tiba-tiba berbunyi. Menyiarkan suara baritone seseorang dari seberang sana. Memecahkan keheningan yang sedari tadi tercipta.

Kelas menjadi riuh. Suara anak-anak yang saling bersahutan menggema ke seluruh kelas. Tak lama setelah siaran mendadak, petikan gitar terdengar dari speaker membuat semua anak terdiam. Mellody menyimak setiap nada yang keluar dari petikan gitar itu.

MELLODYWhere stories live. Discover now