Mood yang jelek sedang menghinggapi diri Mellody. Rasanya baru kali ini ia malas untuk datang ke sekolah. Selain karena headphonenya yang rusak, moodnya juga bertambah buruk mengingat ibunya tidak mendukung rencana perpindahan sekolahnya. Dengan tekad kuat, Mellody memberanikan diri untuk bolos bersekolah. Dilaluinya jalan penuh liku dengan gontai. Kupingnya pekak mendengar kebisingan kota Jakarta. Terlebih bunyi klakson kendaraan yang saling bersahutan.
Andai headphone kesayangan gue gak rusak.
Bukan berlebihan atau semacamnya. Mellody bisa saja membeli puluhan bahkan ratusan benda yang sama berkat kekayaan orang tuanya, hanya saja headphone itu merupakan pemberian dari seseorang yang sangat berharga bagi Mellody ketika ulang tahun ke empat belasnya. Dan kini, benda itu sudah tiada.
Mellody memasuki terminal bus dengan pikiran kosong. Mulai masuk ke dalam bus dan duduk di kursi kosong paling belakang, masih dengan pikiran kosong. Dua tahun lebih headphone itu menemani momen suka dan dukanya jadi Mellody merasa kehilangan. Rasa rindunya terhadap orang pemberi headphonenya tiba-tiba saja menyeruak menggelitik dada. Tak lama dirinya sadar akan sesuatu. Bis yang ditumpanginya tengah melaju ke daerah Serpong. Mellody mengetsa senyum di wajah putihnya. Kalo kangen ya samperin aja, batin Mellody.
Dan disinilah Mellody berdiri. Gadis itu mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar menguatkan mentalnya. Oke, gue siap. Kemudian diangkat tangan cantik miliknya, mengetuk kecil pintu di depannya. Jam yang melingkar di tangannya menunjukkan masih pukul 7 pagi. Mellody menghentakkan kaki menunggu seserang membukakan pintu dari dalam sana.
Kriieet..
Decitan pintu yang bergesekan dengan lantai terdengar ketika pintunya terbuka. Menampilkan sosok pemuda tampan berusia 19 tahunan tengah menatap Mellody terkejut. Bola mata pemuda itu terbuka sangat lebar. Mellody yang ditatapnya hanya mengulas senyum kaku.
"Sorry, pagi-pagi gini gue ganggu lo." Mellody mengusap tengkuknya lembut. Dirinya jadi merasa tidak enak bertamu sepagi ini. Pemuda di depannya memaklumi dan tak lama bibirnya tertarik ke atas, mengukir senyum penuh kerinduan.
"Santai aja elah. Gue kangen lo, Dek!" Mellody berjalan maju, merengkuh tubuh jangkung orang dihadapannya. Melepas rindu yang selama ini hanya bisa dilampiaskan melalui bola-bola penutup telinga, headphone pemberian pemuda di depannya. "Btw, lo gak sekolah?"
"Hehe abis kangen gue gak ketolongan lagi, Bang!" Sederet gigi putih terpapar di wajah cantik Mellody dan matanya menyipit. Mellody tengah menampilkan cengiran andalannya.
Mellody mendorong tubuh tegap itu. Membuat ruang antara keduanya. Dua tahun lamanya ia tidak bertemu dengan kakak laki-lakinya, yang notabene adalah sahabat sekaligus penasihat terdekatnya. "Guenya gak disuruh masuk nih? Abang kurang ajar emang! Hahaha."
"Jadi lo kenapa gak dateng sekolah, dek? Mesti lagi putus cinta ni bocah. Hahaha." Sebuah tawa meledak begitu saja dari mulut Arjuna. Tak lama, ia kembali tenang. Di depannya, ada Mellody yang tertawa renyah dengan raut wajah agak lusuh. Sadar akan hal itu, Arjuna memasang wajah protektifnya.
"Melo. Kalo lo ada masalah cerita ke Abang. Pasti gue bantu!"
Gelitik dari dalam dada membuat tangisnya luruh dari bendungannya. Hatinya terenyuh merasa bahwa Abangnya sangatlah perhatian. Secercah rasa bersalah mengiris dadanya. Wajah Mellody tertunduk dan saat itulah tangisnya tumpah.
"Maaf Bang Juna, headphone pemberian lo dua tahun lalu rusak. Melo gak bisa jagain baik-baik."
Tangan Arjuna terulur untuk memeluk sosok malaikat kecilnya yang begitu rapuh itu. Belaian halus penuh kasih terasa di pucuk kepala Mellody. Menumpahkan rasa rindu dan bersalahnya dalam pelukan sang kakak.
"Hush.. Hush.. Udah ah dek, malu udah gede. Melodrama banget, Abang juga gak bakal marah."
Isak tangis Mellody kian menenang. Hingga akhirnya napas yang tadinya tersenggal kini mulai teratur. Arjuna menjauhkan tubuh Mellody dan mendapati adik tersayangnya jatuh tertidur tak lama setelah tangisnya berhenti. Arjuna menatap wajah adiknya yang agak bengkak dan merah, namun menurutnya Mellody tetaplah adiknya yang paling cantik.
"Gue bakal terus jagain lo, Mel."
Mellody terbangun dari tidurnya yang cukup pulas. Matanya beberapa kali mengerjap karena kantuk yang tertingga. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 6 sore. Iris mata gadis cantik itu menelusuri tiap sudut apartemen dan melihat dinding kaca yang gordennya separuh tersingkap. Di luar sudah gelap.
Mellody bangun dan berjalan menuju dapur. Sesuatu di perutnya terus mendesak meminta diberi konsumsi. Dari ujung ruangan, sebuah kotak dengan balutan warna yang mencolok di atas meja makan menyita perhatian Mellody. Di sampingnya terdapat secarik kertas dengan tulisan yang lumayan rapi.
Dek, kalo lo udah bangun pastiin baca ini kertas ya. Gue tau lo pasti laper berhubungan dengan elo yang emang demen makan. Wkwk. Di lemari ada ayam tepung, tetep enak walopun dingin. Dimakan ya!
Eiya ini ada headphone baru, kemaren punya firasat elo bakal dateng jadi gue ngebeli ini. Wkwk keren kan gue. Gausah makasih, cukup lo pulang gak kemaleman dan nyampe rumah dengan selamat aja. Sayang Melo!
Mellody terkekeh membaca kata demi kata surat yang ditulis Arjuna. Kepalanya menggeleng tak habis pikir dengan Abang satunya ini. Padahal bisa saja bertukar pesan via Line atau media lainnya, namun Arjuna memang sangat berbeda.
Thanks Bang Juna, Melo balik dulu. Setelah kata itu terucap, Mellody segera berlalu meninggalkan apartemen itu. Hatinya sungguh lega. Kemudian ia hendak kembali ke rumah.
"Melo pulang!" Sahut Mellody ketika sampai di dalam rumah.
Sepi. Tak ada seorangpun di ruang tengah. Bu Lasmi pasti sudah kembali ke rumahnya mengingat sekarang telah lewat jam makan malam. Tugasnya sudah usai. Sedangkan Mama dan Papa harusnya sudah di rumah dan kini mungkin sedang berada di kamar.
Mellody berjalan gontai menuju kamarnya di lantai dua. Saat hendak menaiki tangga pertama, Papa dan Mamanya datang menghampiri Mellody. Seorang lelaki separuh baya mengukir senyuman tulusnya menatap anak gadis di depannya. "Melo. Papa ada kabar gembira."
"Ini seriusan, Pa? Ma? Mama udah setuju?" Mellody berjingkrak ria mengetahui kedua orang tuanya telah merestui perpindahan sekolahnya. Bahkan telah mengurus segala keperluannya. Sungguh hari yang sangat membahagiakan bagi dirinya.
"Ih Ma, Pa, aku seneng banget. Sumpah. Aku gak bakal kecewain perjuangan Mama sama Papa demi cita-cita aku!"
🎶
"Melooooo... Aaaaarrggh... Gue pasti bakal kangen banget sama lo. Kalo ganti nomor kontak ke gue ya."
Sedari tadi lengan Mellody kelu digantungi Hana selalu. Ia menceritakan kabar akan berpindahnya Mellody minggu ini. Ekspresi Hana sangatlah menggemaskan. Hana melepaskan relungan tangannya dan beralih menarik tangan Mellody menuju kantin. "Ayo! Traktir gue makan dulu kalo gitu!"
Dua piring ketoprak telah tersikat bersih isinya. Mellody dan Hana menepuk pelan perut mereka. Merasa puas akan konsumsinya siang ini. Sempat hening di antara keduanya hingga akhirnya Hana membuka mulut lebih dahulu.
"Tau gak, kemaren waktu lo bolos sekolah masa si Kunyuk dateng ke kelas dan nanya-nanya tentang lo gitu."
Mellody tampak agak terkejut mendengar fakta bahwa Bian mencarinya. Bian merupakan cowok yang cukup populer baik di kalangan cewek, cowok maupun guru sekalipun. Bian yang tampan, asik dan pintar. Hampir sempurna menurut Mellody jika sikap tidak bersahabat jika bertemu Mellody tidak ada.
Hanya saja yang entah mengapa setiap berhadapan dengan dirinya, Bian selalu bersikap dingin. Mellody mengira Bian sangat membenci dirinya. Beranggapan seperti itu karena Mellody mengira Bian yang seorang anggota kedisiplinan membencinya karena selalu memakai headphone di area sekolah.
Kepalanya masih memikirkan seorang Bian tak henti hingga rasa herannya tergantikan oleh rasa kejut kekita seseorang menyentuh pundak kanannya. "Hai".
Continued...
YOU ARE READING
MELLODY
Ficção AdolescenteMellody, si cewek yang cuma tau musik otodidak tanpa pengalaman, tiba-tiba dikejutkan dengan kehidupan 'dunia musik' yang sebenarnya. Dibantu dengan teman-temannya, Mellody bertekad melangkah jauh ke depan untuk membuat 'melodi'nya sendiri.