Kisah Cinta Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Salam & Khadijah Radhiallahu 'Anhu

1.4K 74 0
                                    


Amma ba'du..
Bukan rahasia lagi bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mencintainya dengan cinta yang begitu besar dan sudah merupakan hal yang tersebar luas bahwa Khadijah di hati Nabi tak terganti meski jasadnya telah tak ada lagi di bumi.

Sayyidah Aisyah, istri termuda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, meriwayatkan,
“Aku tidak pernah mencemburui istri-istri Nabi yang lain, aku justru cemburu kepada Khadijah meskipun tidak pernah berjumpa dengannya.
Karena tidak ada satu hari berlalu kecuali Nabi menyebut namanya.
Terkadang Nabi menyembelih kambing dan membagi-bagikannya kepada kawan-kawan Khadijah.” (HR. Bukhari)

Kesetiaan cinta yang teruji, kesejatian cinta yang tak tertandingi.
Karena keduanya memang mendasari cinta mereka kepada Allah,
saling mencintai karena Allah bahkan dari sejak awal pernikahan mereka.

Mungkin jadi pertanyaan bagimu: Bagaimana mungkin mereka saling mencintai karena Allah jika bahkan keduanya menikah sebelum Islam datang, sebelum masa kenabian; sebelum Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa salam terutus menjadi seorang rasul?

Ketika saya menulis kisah Sayyidah Khadijah dalam buku “Pilar Cahaya”, saya mendapatkan jawabannya.
.....
Sayyidah Khadijah adalah sedikit dari kaum Quraiys yang bisa membaca dan menulis. Dia pun memiliki seorang sepupu lanjut usia yang merupakan seorang pendeta ahli kitab. .
Darinyalah Sayyidah Khadijah mengetahui bahwa telah datang masa terutusnya nabi akhir zaman.
Dan, melihat berbagai macam pertanda, tahulah Khadijah bahwa Muhammad putra Abdullah adalah calon yang terutus itu.

Ia pun memutuskan untuk melamarnya karena Allah.
Meski pada saat itu manusia mulia yang dikenal kejujuran dan amanahnya itu adalah seorang laki-laki miskin dan tidak memiliki pekerjaan tetap sementara Khadijah adalah janda kaya yang dermawan, kebaikannya membuat semua lelaki Qurays berharap menjadi pendamping hidupnya.

Khadijah sendiri ingin menikah dengan Nabi Muhammad agar ketika datang waktu terutusnya Nabi Muhammad sebagai seorang rasul,
ia yang menjadi istrinya kala itu akan segera beriman,
berjuang dalam agama,
dan membantu Nabi dengan semua yang ia punya.

Silakan simak apa yang disampaikan Khadijah beberapa hari sebelum pernikahan mereka:
“Wahai Muhammad, sungguh demi Allah, Engkau harus tahu bahwa aku ingin menikah denganmu bukan karena berharap sesuatu. Aku melakukannya karena kukira Engkau adalah nabi yang akan diutus, rasul yang kedatangannya ditunggu dan diberitakan oleh para rahib dan pendeta.
Dan jika hal itu benar, aku berharap Engkau tidak menyia-nyiakan perbuatanku, ajaklah aku kepada Tuhan yang kelak akan mengutusmu itu.”

Nabi Muhammad menjawab,
“Aku tidak tahu kebenaran ucapanmu itu, wahai Khadijah.
Namun, demi Allah, jika benar aku menjadi seperti yang kau kira, aku tentu tidak akan menyia-nyiakanmu sampai kapan pun.
Dan jika tidak,
maka Tuhan yang Engkau telah berbuat kebaikan ini karenaNya, pasti tidak akan pernah menyia-nyiakanmu.”

Sayyidah Khadijah dan Nabi Muhammad (shalallahu ‘alaihi wa salam) menjalin rumah tangga karena Allah.

Karena itulah pernikahan mereka menjadi begitu berkah,
cinta mereka kekal abadi.
Sebab ada Allah dalam hubungan cinta mereka,
ada Allah dalam niat pernikahan mereka,
ada Allah yang menjadi landasan setiap keputusan yang mereka buat sebagai suami dan istri.
Dan inilah sumber kekuatan terbesar yang dimiliki manusia.

Tak aneh jika Khadijah bertahan saat ujian pernikahan mereka menghadang.
Tatkala badai datang mengombang-ambingkan biduk pernikahan mereka. Tatkala kemiskinan menyapa padahal sebelumnya ia adalah wanita kaya raya, tatkala kelaparan bahkan memaksanya untuk makan rumput berbulan-bulan lamanya hingga ia merasa giginya menjadi tajam karenanya

Andai saja kau dengar perbincangan pasangan suami istri itu pada suatu malam, pada masa-masa tersulit keduanya.
Masa ketika Nabi dan seluruh keluarganya diasingkan kaum Quraiys.
Hingga tak ada makanan yang dapat mereka peroleh kecuali dengan sembunyi-sembunyi.
Tidur pun hanya beralas tikar pelepah kurma, yang tak cukup menghangatkan tubuh di musim dingin.
“Aku merasa malu kepadamu, wahai Khadija,”
sang Suami membuka percakapan.
“Mengapa kau merasa begitu, wahai Rasulallah?”
“Sebab aku menikahimu dan Engkau mulia di kaummu, kini mencaci maki dirimu.
Aku menikahimu, dan kau kaya raya, semua yang kau inginkan tersedia.
Kini kau makan ala kadarnya bahkan seringkali harus menahan lapar untuk waktu yang lama.”
.
Sang istri memandang wajah suaminya penuh cinta.
Mengingatkan bahwa bahagianya bukan terletak pada gelimang harta atau dianggap mulia di antara kaum yang tidak mengenal tuhannya.
Bahagianya ada bersama dengan sang tercinta,
bahagianya ada pada pengorbanan dalam membela agama.

Maka ia pun menjawab,
“Duhai Rasulallah, hilangkanlah segala perasaan itu.
Engkau harus tahu, jangankan sekedar hartam sebab seluruh tenaga, waktu, rasa, hidup dan matiku telah kupersembahkan untuk Allah dan RasulNya.”

Alangkah indahnya ucapan itu..
Sungguh tulus hati dan jiwanya dalam pembuktian cinta kepada Allah dan RasulNya,
hingga para ahli sejarah menyimpulkan kemuliaan Khadijah dengan mengatakan:
“Dia adalah seorang istri yang tidak pernah berkata tidak kepada suaminya.
Cinta mereka adalah legenda, perwujudan keabadian cinta dan kesejatian cinta. Semoga kita dapat meneladani mereka.”
____
Sumber artikel “Kisah Cinta Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan Khadijah Radhiallahu ‘Anha” dari buku “Muhasabah Cinta” karya Ustadzah Halimah Alaydrus (Muslimah Zone)

EMBUN "KISAH HIKMAH & INSPIRASI PART 2"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang