Serendipity

77 7 4
                                    

Warning! Jangan baca cerita ini. Karena tingkat kepedean sang penulis yang begitu besar, dan tingkat kebaperan yang melanda.

***

Karya: adaptasi

//

2016,
Warung kecil dan secangkir kopi pahit.

"Le, nek wis neng jogjo, numpak bis wae yo le," begitu pesan Bapak waktu itu.

"Sing ngati - ati le, iki kuto ne uwong, udu nggone dewe. Ojo kesusu, ojo saru," pesan yang sekarang masih kuingat selalu. Katanya Hati - hati. Ini kotanya orang lain bukan kota kita sendiri, jangan terburu - buru jangan gak sopan. Aku tersenyum, masih setia menunggu keberangkatan bisku. Sesekali menyeruput kopi pahit di warung kecil itu. Biar gak pusing le, minum kopi pahit. Kalau aku masih di angkringan semalam. Pasti aku akan memilih kopi joss.

Yap, akhirnya bis sudah sampai. Tiketku sudah kubawa dan siap kuberikan kepada kondektur bus. Aku sedikit kecewa, bis yang kutumpangi tidak sebagus yang kupikirkan. Namun, aku tetap akan naik. Aku sudah membeli tiketnya dan cukup mahal. Dengan sigap aku membawa tentenganku yang cukup berat.

Aku melihat dari kejauhan, ada kakek - kakek yang tidak kuat membawa barang bawaanya. Tolongin gak ya? Tanpa berpikir dua kali, aku langsung berlari ke arah kakek itu, dan kubawa barang bawaanya. Beliau hanya menenteng plastik hitam.

"Matur nuwum saged yo cah bagus," ucapnya sambil mengelus rambutku. Artinya terimakasih banyak ya nak. Aku tersenyum menggeleng, "Nggih sami - sami mbah, boten keberatan kok,"

Lalu kakek itu, memberikanku permen jahe, aku tidak tahu. Mungkin juga sebagai rasa terimakasihnya kepadaku. Tapi aku ikhlas menolongnya. Tanpa berpikir panjang permen jahe itu langsung aku masukkan ke saku kemeja flanelku.

Aku berjalan menuju bisku, ada seorang anak kecil yang menawarkan panganan seperti lontong kepadaku. Aku sebenarnya tidak tertarik, karena aku sudah kenyang. Efek makan tempe goreng sambil ngopi tadi. Tapi, melihat dagangannya yang masih banyak. Juga wajahnya yang menghitam disertai keringat yang tak henti - hentinya. Aku tidak tega. Akhirnya aku membeli 5 lontong. Dan harganya cukup mahal. Sebenarnya aku menyayangkan uangku ini, lebih baik untuk beli pulsa. Hm tapi, tak apa lah. Sekali - sekali

Kondektur bus memanggilku untuk cepat masuk, aku segera mengindahkan perintahnya. Aku masuk ke bis itu, ternyata tidak terlalu buruk. Aku melihat berapa banyak penumpang dengan keluarganya masing - masing, temannya, atau pasangannya. Mereka semua melihat ke arahku, ada juga yang senyum, aku balas dengan senyum juga. Ada juga yang acuh tak acuh. Mereka semua duduk dengan teman atau keluarganya. Sedangkan aku sendiri.

Asikk duduk di depan, gak terlalu depan juga. Tapi aku senang.

Mengelilingi kota pelajar dengan segala budayanya yang selalu ingin aku pelajari. Banyak graffiti, mural, di tembok - tembok jalan. Bangunan yang nampak magis menghiasi tiap kilometernya. Kesibukan pasar yang menjadi daya tarik tersendiri.

Aku memakan permen jahe pemberian kakek tadi, dan rasanya enak. Jahenya cukup kerasa juga rasa manisnya meyegarkan mata. Dan bis yang kutumpangi berhenti untuk mengambil penumpang, banyak sekali. Saking banyaknya aku khawatir. Khawatir jangan sampai duduk sama kakek - kakek atau nenek. Aku mengalihkan pandanganku menuju kaca bis.

Kepadatan di bis semakin bertambah, semakin sesak pula. Sampai - sampai ada seoarang bapak yang menyuruh anaknya untuk duduk bersamaku. Aku melirik untuk melihatnya. Hm, seorang perempuan berambut panjang. Masih memalingkan mukanya. Mungkin dia mengira kalau duduk bersama kakek - kakek. Tapi, aku merasa lebih baik duduk bersama perempuan itu.

Akhirnya musisi jalanan jogja masuk ke bis kami. Dengan cekatan aku mengambil kameraku untuk merekamnya. Sontak perempuan itu menoleh ke arahku, dan tersenyum. Senyum yang penuh arti. Atau jangan - jangan dia suka sama aku?

Ah lagi - lagi suka kepedean. Jangan salahkan aku, naluri cowok seperti itu.

Bukan gak mungkin sih. Soalnya sebelum menuju jogja. Aku sudah memangkas rambutku, memberinya gel biar tetap klimis. Dan memakai kemeja flanel merah strip hitam di padu dengan celana jeans hitam. Aku juga memakai kacamata frame hitam non minus. Jadi kacamata yang bisa buat bergaya.

"Namanya siapa Mas?" Tanyanya kepadaku sambil mengulurkan tangannya.

"Bagas, sampean?" Omong - omong aku juga sambil merekam musisi keren itu. Dia tersenyum. "Linda mas," ucapnya. Nadanya bergetar, aku bisa melihat mukanya memerah, dan menahan senyum. Apa dia tahu kalau aku ini bagas185 yang di instagram?

Ah. Entahlah.

Aku juga, masih fokus merekam penampilan musisi itu. Untungnya banyak lagu jawa yang bapak berikan kepadaku. Jadi aku masih bisa bernyanyi dan menepuk - nepukkan tanganku ke jok depan. Awkward banget gas!

Lalu mencomot lontong yang tadi aku beli. Sumpah! Rasanya enak banget, isinya daging ayam cincang dan sedikit gudeg manis. Sumpah enak banget! Aku juga memberikan satu untuk Linda. Dia menerimanya dengan senang hati lalu memakannya. Linda kalo makan jadi lucu begini. Eh?

Musisi jalanan itu sudah selesai ngamen. Aku memberikan uang untuk membayar penampilannya. Bagus banget! Kalau aku disuruh nonton konsernya pasti mau.

"Apikk mas!" Kataku sambil memasukkan uang ke bungkus permen yang dijadikan tadahan uang. Aku memang sksd.

"Wii. Makasih mas ganteng," ucapnya kepadaku membuatku senyum - senyum sendiri. Aku jadi ingat perkataan mas bayu.

"Ah mbah. Si bagas mah gantengnya kalo mau pulang kampung doang. Kalo hari biasa apalagi sekolah mah dekil," aku tersenyum lagi. Nanti aku juga bertemu dengan mas Bayu.

Lontongku sudah habis. Jujur aku kurang puas. Tadi aja aku beli sepuluh. Aku pasti makan semua, karena rasanya yang unik dan jarang aku temui di daerah lain.

Aku masih menatap layar ponselku, sesekali memutar hasil rekaman tadi.

"Linda, turun dimana?" Tanyaku sambil membenarkan frame kacamata.

"Kulonprogo mas, sampean dimana?"

"Wih udah deket dong. Aku turun di Solo. Masih jauh," ucapku. Kami mengobrol ringan kala itu. Sampai daerah kulonprogo. Linda mengajakku selfie. Aku sih mau - mau aja.

Katanya. "Kapan lagi selfie sama mas ganteng," aku hanya menggeleng dan senyum - senyum lagi. Dan ya, akhirnya Linda turun bersama bapaknya. Dia melambaikan tangan ke arahku. Lalu aku balas dengan senyum semanis mungkin.

Dada, temen jauh! Bisa gak ya? Lebaran tahun 2017 kita ketemu lagi. Di bis yang sama. Menikmati perjalanan dengan permen jahe, diiringi musik keroncong ala musisi jogja. Dan makan lontong yang cukup lezat. Sampai aku kurang.

Ini pertama kalinya aku naik bis sendirian, aku harus berani. Karena tahun depan usiaku genap 17 tahun, jadi aku harus punya pengalaman, apalagi aku laki - laki. Aku kira, hari ini akan menjadi hari yang buruk, aku akan kena copet, atau uangku habis duluan. Atau aku kesasar karena tidak tahu wilayah.

Aku jadi ingat satu kata. Serendipity, keburuntungan yang menyenangkan. Sebenarnya untuk menolong kakek itu sudah tugasku. Tapi beliau memberikanku permen yang enak. Dan tinggal satu sekarang. Lalu membeli lontong yang aku kira gak enak dan kemahalan. Dan ekspektasiku kalau - kalau duduk bareng kakek - kakek atau nenek - nenek. Semuanya salah. Aku malah diberikan kebetulan yang sangat menyenangkan untuk diingat dan diceritakan.

Sampai saat ini, jogja. Di tiap kilometernya menyimpan sejuta kenangan dan kebahagiaan yang terselip di setiap masing - masing orang. Aku kembali menatap jalanan sambil membetulkan frame kacamataku.

Lalu bergumam, ini serendipityku. Kalau kamu?

***

Makasih udah nyempetin baca cerita receh bin gajelas ini. Oh iya, buat yang mau gabung HS langsung pc kontak ya, grupnya seruu lho.

-

Adaptasi

2nd ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang