Mantra Gunadarma

10 0 0
                                    

Nanta menunggu di gerbang sambil cemberut. Kakaknya yang beda umur dua tahun lebih tua tersebut meringis di balik jok mobil tapi memasang wajah santai ketika adiknya merenggut masuk ke kursi di sampingnya. Kemudian Nanta menarik tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Lio tahu adiknya sedang apa dan tidak mau menganggunya.

Bagi sebagian besar laki-laki, ponsel bisa digunakan untuk bermain game. Tapi Nanta berbeda, semua yang melihat mereka berdua pasti juga tidak mengira mereka bersaudara, maksud Lio, adiknya benar-benar berbeda. Ia menggunakan ponselnya untuk mencari pekerjaan paruh waktu di tengah-tengah sibuknya Ujian Nasional dan mencari SMA lanjutan setelah lulus dari SMP-nya. Anak labil umur 15 tahun itu benar-benar sesuatu dengan ponselnya sendiri.

"Kali ini kamu mau kerja di mana lagi?" tanya Lio malas akhirnya.

Mata kemerahan Nanta karena terlalu lama bekerja atau belajar, menatap Lio. "Hoammm," ia melirik jamnya. "8 menit lagi kerja. Di belokan ke kiri ada Laundry Kita-kita. Nah, adek dapat kerja di situ."

"Kamu harus banget kerja? Bisa tidak kerjaan kamu dikurangi satuuu saja? Masa tiap kali jemput kamu, kakak harus menunda main game dark soul?" tanya Lio hati-hati. Tapi percuma saja, toh Nanta akan menjawab persis seperti sebelum-sebelumnya.

"Kakakku, tahu gak keuntungan dari kerja? Waktu. Nanta bisa mengatur waktu sebaik mungkin. Kalau mata aku merah atau lelah itu karena kesalahan sendiri. Bukan karena waktu."

Lio heran sekali kepuitisan Nanta dapat dari mana.

"Kakakku..."

"Iya, iya, bacot sekali kau." desisnya seraya memberi sen ke kiri. Membelokkan setirnya, tempat cuci pakaian yang cukup kecil—sehingga mau saja memperkerjakan anak SMP— terlihat dan Lio berhenti di depannya.

Ia menatap adiknya yang sibuk berganti kaos. Mungkin karena Nanta suka sekali berolahraga, badannya jauh lebih bugar dan berotot dibandingkan kakaknya yang lebih suka makan pizza dan cola sambil mencoba kaset game baru sepanjang waktu. Wah, wah, apakah sekarang Lio sedang iri kepada adik satu-satunya itu?

"Dadah, Kak! Nanti pisang goreng pas Nanta pulang, ya. Kan kata Mama adiknya dibaik-baikin." kata Nanta, membuka pintu dan berjalan cepat ke laundry.

"Sampai lulus SMP doang, euy! Jitak kamu kalau sudah lulus, suruh kakak ini-itu!" balas Lio dari jendela mobil yang terbuka. Ia berusaha membuat Nanta jelas kalau Mama...

Mama?

Arisan! Aduh lupa, kan! Sekarang harusnya Lio mengantar Mama ke acara arisan!

Mobilnya melaju dan hari-hari menjadi supir dimulai.

❴‘❵

"Eh, Ibu Gunadarma datang. Tadi saya kira tidak datang, loh, Bu," suara Tante Irmasari heboh seperti biasanya menyambut Ibu Guilio layaknya baru bertemu setelah sekian puluh tahun tidak pernah berjumpa. Lio bergidik ngeri ketika ibu-ibu itu mulai cipika-cipiki (cium pipi kanan-cium pipi kiri).

Mama Lio sama hebohnya juga menjawab alasan keterlambatannya. Lio lebih bergidik horor ketika kumpulan ibu itu meliriknya dari atas sampai bawah lalu berkomentar, "Anak keberapa, Bu? Sekolah di SMA itu, ya? Di mana, ya? Kok, aku lupa, pas itu Bu Gunadarma pernah cerita, deh."

"Pertama, Bu. Di SMA Harapan Karsa. Masa ibu-ibu lupa, sih?"

"Soalnya Ibu Dar gak terkenal karena nama anaknya. Contohnya saja Ibu Lala itu nama dari anak pertamanya yang baru masuk TK itu. Iya gak, Bu?" tanya seorang tante berkacamata ke seorang ibu muda berumur pertengahan dua puluhan.

Please. Lio tidak bisa berada di sini lebih lama lagi. Lio mohon kepada langit dan bumi. Kepada burung- burung dalam sangkar di rumah Tante Irmasari. Tolong buat Mama tidak marah mengancam uang jajanku dan memperbolehkan aku pulang untuk main game dark soul.

Cheese WaferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang