"Kamu punya kue nastar?"
Gumaman Ayla jelas-jelas mencetak wajah keheranan dan beo di mulut Elma. Bukannya tadi mereka bilang rumah ini menakutkan? Sekarang cengiran muncul di bibir Ayla dan ia menatap Elma lebih semangat.
"Nastar! Nastar!" serunya sambil menunjuk ke toples di ruang tamu, tidak sopan sama sekali.
Kaki Ayla sekarang melompat-lompat kecil dan matanya membesar seperti anak kecil. Si pembuka pintu, Nanta, tidak tahu harus berbuat apa selain memandang heran dan menarik satu kesimpulan untuk tamu kakaknya, gila. Wajahnya berubah kaku setelah 1 menit penuh temannya tidak berhasil menghentikan perempuan gila itu.
Dehaman Nanta menghentikan kegaduhan kecil di depan pintunya. Menarik napas, Nanta berusaha sopan walaupun ia tak ingin. "Silahkan masuk."
"Eh, iya," gumam Ayla malu dengan rona merah di pipinya.
Elma berjalan dengan wajah meminta maaf yang dipahami Nanta sedangkan Ayla duduk terdiam di kursi sofa panjang warna cokelat berhadapan dengan kue nastar yang menghebohkan.
"Silahkan diminum," ujar wanita berambut panjang, wajah tirus kelelahan tetapi senyumnya menyenangkan saat menghidangkan es sirup.
Ia tidak membayangkan wanita yang masih muda itu pernah tertawa saat arisan di rumahnya. Wajahnya suram namun berusaha memaksa Nanta lembut untuk menemani Ayla dan Elma yang langsung ditolak mentah-mentah. Seketika dadanya merasa tidak enak menganggu Mama Lio hanya untuk menanyakan soal tas bekalnya karena Ibu Gunadarma tidak kelihatan sehat sama sekali.
"Maaf Tante... jadi bikin repot. Tante sehat?" ujar Elma ketika Mama Lio memijat halus kepalanya.
Wajah cantik itu menatap Elma. "Gak apa-apa, kok. Kalian teman sekelasnya Lio? Udah lama juga ya main ke sini lagi.."
Kata-kata Ibu Gunadarma tertelan teriakan laki-laki dari depan, Elma sampai-sampai terjijik geli sedangkan Ayla tidak tahu siapa yang berteriak kekanakan itu. Kepalanya terputar cepat dan melihat Lio yang terkaget-kaget melihat Ayla di rumahnya.
"Kok.. kamu ada di rumah aku?" tanya Lio sembari masuk menghampiri Ayla.
Ayla terkekeh geli.
"Ih serius Ayla...," desis Elma tidak sabar. "Lihat tuh mata adiknya." Tadi memang Ibu Gunadarma mengenalkan Nanta yang langsung naik ke lantai dua setelah bujukan yang tidak berhasil. Sekarang ia memakai jaket jeans, memelototi mereka dari anak tangga kelima. Ayla bergidik ngeri.
Satu-satunya hal yang membuat Nanta tidak dimarahi mamanya dikarenakan Ibu Gunadarma beradu punggung dengan anak bungsunya dan menatap tamu-tamunya kalem.
Lio berjalan ke sofa kecil di samping sofa panjang yang diduduki Ayla dan Elma. "Kamu—"
"Iya tadi aku mau nanya kamu soal bekal makanan. Kok bekalku bisa ada di kamu?" jelas Ayla cepat—mengutarakan maksud kedatangannya— dan sesuai tipikalnya. Ayla memang orang seperti itu. Tidak memberi kesempatan orang bertanya dua kali. Bahkan mengganggu kalimatnya.
Berbeda sekali dengan Lio yang sekarang menelan ludah gugup serta melirik adiknya yang ada di tangga. "Ah itu.. aku tadi mau ambil dompet Mama yang ketinggalan di rumahmu pas pagi-pagi."
"Terus kamu diminta Ibu buat bawain bekalku juga?"
Lio mengangguk. "Berarti tadi kamu telat dong sampai di sekolah?" tanya Ayla serius. Elma yang duduk di sampingnya menghitung waktu perjalanan dari rumah ini ke rumah Ayla lalu ke sekolah. Butuh waktu sekitar 30 menit belum ditambah basa-basi di rumah Ayla. Tahu kan Ibu Ayla orangnya rempong kayak gitu.
Kali ini Lio lebih gugup dan tidak melihat Ayla lagi untuk menjawab pertanyaan, malah ia cepat-cepat menyuruh turun adiknya yang sudah dalam kondisi siap pergi dengan jaket dan celana yang senada serta sepatu hitam berlogo kotak favoritnya. Mama mereka bergantian merubah wajahnya dari bingung menjadi cemas saat Nanta turun. Ia melewati lemari cokelat kayu tanpa hiasan satu pun lalu berdiri di depan kakaknya. Hidung mancung Mama kembang kempis melihat anak-anaknya.
"Kalian mau pergi ke mana lagi?"
Nanta merilekskan wajahnya sehingga Ayla kira seperti itu rupa Ibu Gunadarma saat masih muda dan banyak tersenyum. "Tenang Ma, adek mau latihan piano. Bukannya Mama yang daftar les piano buat aku?"
"Mama tidak ingat. Sejak kapan?" Ibu Gunadarma tampak bingung lalu sebuah kesadaran menghantamnya. "kamu mau bohong ya sama Mama?"
Baik-baik Ayla merekam wajah pias Nanta. Biar suatu saat momen ini bisa dijadikan kartu truf-nya.
Keadaan segera diambil alih oleh Lio, dengan gerakan bibir mengajak Ayla dan Elma bangun juga adik menyebalkannya cepat membuat alasan baru yang lebih masuk akal.
"Pokoknya... Mama ... Aku cabut dulu yak!" pekik Nanta dalam gerakan cepat menyalami tangan mamanya dan keluar dari pintu depan.
Sebelum bisa berkata-kata, Lio pamit keluar dengan alasan mengantar Ayla pulang. Padahal Ayla tahu ia lebih suka diantar pulang oleh Elma daripada Lio. Entah kenapa, firasatnya bilang sesuatu yang buruk akan terjadi.
Benar saja, Ayla baru duduk di jok dan Nanta mengumpat kata-kata yang bisa menyinggung Mamanya. Anehnya Lio tidak marah atau terganggu, sepertinya ia sudah kebal dengan kelakuan kasar adiknya. Bahkan ketika ia berkata hal-hal ganjil tentang perilaku Ayla, Lio hanya bisa meringis dan meminta maaf tanpa suara sambil melas menatap Ayla.
Sudahlah, Ayla capek dengan remaja labil itu.
❴‘❵
Beberapa hari setelahnya Diko malah asyik menyanyi-nyanyi dengan merubah beberapa liriknya. Gak bermutu memang tapi teman-temannya tertawa seperti anak kecil.
Di meja paling pojok dekat jendela Ayla malah sibuk dengan gadgetnya. Seolah setiap pesan chat yang masuk menelan kesedihannya dan membuatnya tertawa. Riska dan Elma tahu penyebabnya. Satu. Hanya satu orang.
Guilio.
Iya, semenjak Ayla sangat kesal dengan Nanta, Lio berusaha menjemput perempuan itu setiap pagi dan mengocok humornya hingga ke level yang paling bawah. Setelah cerita leher jerapah-temannya yang sangat tinggi- tersangkut di ring basket tertunda karena Ayla akan naik tangga menuju kelasnya maka Lio menanyakan nomor telepon perempuan itu. Simpel, sih. Tapi Riska gonjang-ganjing. Anak IPS woy! Mana ada sejarah Ayla dekat sama anak IPS! Sama anak IPA saja belum tentu kenal. Pasti ada apa-apanya, kan?
Jangankan sama anak IPS deh. Sama Diko saja belum tentu Ayla seramah itu kalau lagi bicara sama Lio. Diko yang kayaknya gerah lihat anak perempuan paling tidak bisa ketawa di kelas itu sekarang tengah terkikik-kikik geli sambil menutup mulutnya. Ia pun duduk di sampingnya, kursi Elma, lalu mencabut buntalan putih yang menyumbat telinga Ayla. Perempuan yang diikat satu itu menatap sinis Diko dan kroni-kroninya yang berkumpul di sekeliling mejanya.
"WHAT AM I GOING TO DOOOO?" Nyanyian Diko yang lebih mirip bebek ras Sunda campur aksen Inggris memekakkan telinga. Ia juga membuat kroni-kroninya menyanyikan sepatah demi sepatah kalimat dari lagu yang dibuat pelawak terkenal Indonesia, Sule.
Di tengah-tengah gegap gempita itu Ayla diam lalu menatap ponselnya lalu diam lagi memandang pintu kelas yang baru saja dimasuki Elma yang berkeringat. Tiba-tiba saja Diko nyentil lengan Ayla.
Ayla memberengut kesal.
"Ketawa-ketawa sendiri ihhhh, SEREM."
"Bukan urusan kamu, Diko," jawab Ayla lambat-lambat.
Elma dengan kerudung lepeknya menyabet anak-anak yang duduk di sekeliling kursinya menambah kegaduhan. Pasalnya di kelas belum ada laki-laki yang berani sama perempuan berdarah barbar itu. Sudah pasti deh kroni-kroni Diko berangkat dari kursinya sambil misuh-misuh. Hingga Diko yang terakhir berdiri mengucapkan kata-kata aneh sebelum pergi.
"Be happy for no reason , like a child, La. If you are happy for a reason, you're in trouble, because that reason can be taken from you."
Maksudnya apa?
❴‘❵
Pict: Nanta Gunadarma
March 30, 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Cheese Wafer
Teen FictionBiru vs Pink Kakak vs Adik Pisang goreng vs Bakwan. Sebenarnya ada apa sih antara Diko dan Nanta?