Anaknya Bu Guna-guna

6 0 0
                                    

Anak IPS jago main futsal, itu kenyataan. Lio termasuk di dalamnya. Di lapangan hijau berukuran kecil yang disewa 2 jam itu semua anak fokus berlatih untuk kejuaraan antar SMA minggu depan nanti. Semua anak terengah-engah dan kehausan, kecuali Lio. Kaos merah mereka basah dan menempel lengket di punggung, beberapa anak duduk dan melihat murid transfer yang berduel dengan Lio.

"Gila, dia itu monster atau robot, sih? Apa dia tidak capek?" gerutu laki-laki kurus sambil menyenggol lengan temannya yang sedang menuang isi botol ke mulutnya.

Temannya mengumpat pelan karena airnya jatuh ke baju, lalu wajahnya melunak—toh bajunya sudah basah, ia hanya kesal saja jatah airnya terbuang sia-sia— dan minum kembali sebelum menjawab. "Tapi kan kita bukan monster. Makanya dari dulu dia gak bisa jadi ketua kita."

"Latihan saja tidak pernah—"

"Tapi dia jago, kan?" potongnya membuat si kurus terdiam. "Ingat loh aku Edo, temannya Lio."

Si kurus mencibir kecil lalu kembali ke lapangan seolah percakapan mereka tidak pernah terjadi. Edo mengelap wajahnya sebagai upaya menahan keluhannya. Ini sudah beberapa kali tim futsal yang diketuainya tidak solid. Dan masalah utamanya lagi-lagi Lio. Sahabatnya sendiri.

Tang! Sebuah bola memukul gawang menyadarkan Edo. Ia merapikan rambutnya yang panjang nanggung sebelum memarahi anak transfer yang baru sekolah beberapa bulan itu. Anak berkulit putih itu malah menyalahkan Lio yang langsung dihadiahi jitakan. Bukannya marah mereka berlari-lari seperti dikejar guru BP untuk dipotong rambutnya. Edo tersenyum simpul, sahabatnya mudah berbaur dan ceria walau banyak kabar burung di sampingnya. Jadi mengapa ia harus khawatir timnya tidak akan menang?

"Hoi, semuanya kumpul!" Edo menepuk-nepuk tangannya agar timnya berkumpul termasuk para pemain cadangan. Lio dan anak transfer yang bertubuh kecil itu menghilangkan cengiran mereka ketika masuk lingkaran. Beberapa anak juga seperti itu, memasang wajah serius yang berbeda 180 derajat kalau lagi merayu perempuan-perempuan di sekolah.

"Jadi minggu depan kita final. Sekolah berharap kita dapat mempertahankan gelar juara 7 kali berturut-turut. Jangan sampai kita nanti tidak punya muka menghadap alumni. Mengerti?"

Lingkaran manusia itu mengangguk-angguk paham. Mereka mengerti betapa pentingnya pertandingan ini bagi diri mereka sendiri. Maka tanpa banyak bicara Edo membubarkan latihan dan lingkaran manusia itu berhamburan pulang dengan letih di sekujur badan. Tak terkecuali Lio dan Edo.

"Do, ada gosip baru ya?" tanya Lio cengengesan menyamai langkahnya dengan Edo.

Tanpa perlu bersusah payah wajah Edo yang cemberut menjawab pertanyaan Lio. "Masih suka cari sensasi?"

"Oooo biasa dong. Mukamu memang  cemberut, jutek, makanya susah cari sensasi. Kayak aku dong ganteng, baik, jadi banyak kakak kelas imut yang ngantri jadi pacar," kata Lio membanggakan diri.

"Dasar, tidak usah basa-basi, deh. Kamu mau minta apa? Minta tolong? Minta beliin minum? Jangan lupa hutangmu masih ada dua ribu ke aku."

"Hehehe," Si Lio makin cengengesan. "Tahu aja si Edo ini. Anterin pulang yuk, mas?" Nadanya seperti tante-tante ganjen yang suka menggoda pria. Jijik.

"Sialan, memangnya aku pacarmu? Mana katanya ada kaum-kaum hawa ngejar kamu? Adanya anjing gila kali yang ngejar kamu."

"Oooh jadi Kakanda begitu sama aku(h)? Cukup Kakanda, Ananda akan mencari jalan pulang sendiri."

Parodi Lio yang pura-pura ngambek menghancurkan wajah kusut Edo dan beberapa anak yang melihat mereka. Edo segera merangkul bahu sahabatnya ala pria sebelum makin lama Lio mendapat perhatian semakin besar. Termasuk mbak penjaga kasir yang ikut tertawa melihat ada orang tampan pura-pura jadi banci melewatinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cheese WaferTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang