Persiapan pemotretan bisa memakan waktu dua jam, dari menata lampu, merias wajah dan rambut, serTapi biasanya para model, editor, maupun penata rias hanya memanggilku dengan sebutan, "Mas", asisten Jose. Dan siapa pun si Mas, bukanlah hal penting. Dibanding Jose, aku memang bukan siapa-siapa. Suatu saat aku berharap bisa terkenal seperti dia, meski saat ini aku hanya mengatur lampu, menyiapkan latar untuknya, atau membawakan peralatan fotografinya bila ada pemotretan di luar.
Kunasehati Susan agar tak banyak makan cokelat.
Ia memandangku heran, mungkin terkesima karena aku tahu makanan favoritnya. Ya, setiap kali rambutnya ditata, Susan menghilangkan kebosanan dengan menggigit sebatang cokelat. Sebulan yang lalu juga begitu.
Kutanya lagi: apa kamu masih minum pil-pil pelangsing?
"Mau coba produk baru," katanya optimis. "Yang terakhir bikin aku sakit perut."
Kasihan Susan. Di balik penampilan glamornya, aku tahu ia berusaha keluar dari predikat "biasa-biasa aja" atau "terlalu memaksakan diri". Padalah kupikir ia manis dan senyumnya hangat.
"Oke, polaroid dulu." Jose memberi instruksi ketika semuanya sudah siap.
Studio yang tadinya ramai oleh celoteh para kru menjadi sepi. Waktu bermain-main usai sudah. Ruangan digelapkan. Yang menjadi pusat perhatian hanyalah Susan, si model dengan lampu kuning panas yang meneranginya. Selain itu hanya ada hitam.
Satu, dua,...
Lampu menyala seperti petir tanpa gemuruh. Terang sesaat, lalu gelap datang kembali.
Oke, Jose mengacungkan ibu jarinya. Kita lihat dulu.
Ia menarik kerta polaroid dari kamera medium formatnya. Diberikan polaroid itu padaku, masih dilapis kertas hitam. Tugasku adalah menggosoknya sekitar satu menit agar gambar tercetak sempurna. Lucu. Gosok terus sampai sesuatu muncul, seperti hendak mengeluarkan jin dari lampu ajaib.
"Jangan terlalu kasar. Nanti warnanya rusak." Jose selalu mengingatkan.
Aku mengangguk sigap.
"Kurasa cukup." Jose mengambil polaroid itu dariku. Dibukanya lapisan hitam yang menempel untuk mengetahui hasil fotonya.
Jose memandangi polaroidnya lebih lama dari biasanya. Kuperhatikan air mukanya berubah. Mungkin ada sesuatu yang tidak ia sukai di sana dan membuatnya kesal. Ia seorang perfeksionis.
"Andri," ia memanggilku. "Apa ini?"
"Apa?"
Lihat, ia menyodorkan polaroid itu padaku.
Kulihat Susan berbaring miring di sofa, berpose seperti Cleopatra di singgasananya. Ia mengenakan jaket bulu berwarna ungu tua dan rok mini korduroy berwarna ungu muda. Rok itu adalah alasan mengapa ia dipilih: pahanya kecil dan kaki-kakinya langsing. Seberkas cahaya kemerahan memanjang menutupi kaki itu.
"Aneh. Apa ada yang salah denganlighting?" gumam Jose.
Aku membantu Jose memeriksa lampu-lampunya kembali. Semua tepat seprti yang ia minta. Jose memutuskan mengambil gambar dengan polaroid sekali lagi.
Kini cahaya merah itu hilang.
Setelah puas melihat polaroidnya, Jose bergegas menggantislide. Mungkin ia masih bertanya-tanya mengapa bisa ada cahaya merah di situ, tapi ia tak ingin buang-buang waktu. Pemotretan berjalan normal. Redaktur mode mengarahkan gaya, penata rias bersiap-siap pulang, dan si model menjalankan perannya dengan baik. Berekspresi sesuai instruksi.
Kertas polaroid itu masih di tanganku. Kuperhatikan bentuk cahaya aneh itu. Rapi sekali. Terlalu rapi untuk sebuah kesalahan. Aku pun menyadari sesuatu.
Itu adalah siluet kaki.
"Era polaroid akan segera berakhir," suatu kali Jose berkata.
"Mengapa?"
Lalu, karena menganggap ini bagian dari kuliah yang harus diberikan kepadaku sebagai asisten, ia bercerita tentang munculnya fenomena kamera digital. Kita bisa melihat hasilnya langsung pada sebuah layar kecil pada kamera. Tak perlu lagi menggosok. Tak perlu membuang-buang film untuk hasil yang tak bisa dihapus.
"Padahal di luar negeri banyak seniman yang bereksperimen dengan polaroid," tambah Jose. "Termasuk Andy Warhol."
"Termasuk Andy Warhol." Pupil mataku membesar.
"Warhol menggunakan polaroid dengan kamera yang berbeda. Bukan medium format seperti yang kita gunakan untuk mengecek cahaya, tapi versi kamera instan yang lebih sederhana, seperti yang sering dipakai juru foto di kebun binatang. Tahu apa yang dilakukannya?"
Aku mengangkat bahu.
"Ia memotret kelamin banyak orang. Banyak sekali."
***
"Masih ingat kan, konsep fotonya?"
Ya, ya, ingat dong, kata Jose sambil memutar-mutar lensanya, enggan mengalihkan pandangan.Diamonds are Girls' Bestfriends.
Dua minggu telah berlalu. Kini Vina datang dengan wajah yang berbeda: Aileen, model berwajah Oriental. Tidak banyak yang tahu ia besar dalam keluarga Cina miskin di sebuah gang kecil. Jose mengenalnya dari pesta ke pesta, dengan jari-jari lentik yang menempel pada leher cawan berisi Carbanet Sauvignon, namun padaku Aileen bercerita bahwa sebelum wajah uniknya ditemukan agensi model, ia biasa membantu ibunya berjualan kue dari rumah ke rumah. Bahkan Aileen bukan nama aslinya.