Di dunia hiburan, semua orang diharapkan terlahir dengan jubah perak, seperti kertas alumunium berkilap-kilap; tak akan terlepas meskipun ditanggalkan. Jubah orang-orang rupawan ini menjadikan mereka bagian dari hidup yang selalu dibicarakan sekaligus mengisolasi mereka di langit. Mereka harus disalib di tengah taburan bintang agar tidak kehilangan kemilau.
Aku sempat mendengarkan pembicaraan Jose dan Redaktur Mode tentang konsep foto mereka. Ailen, model berkulit putih bersih itu dipilih untuk menciptakan kontras antara warna kuning lembut dengan berlian merah dan biru yang mencolok. Antara lekuk-lekuk leher dan payudara yang halus dengan potongan berlian yang keras dan tajam. Maka duduklah sang peraga di sebuah kursi bulat, memakai gaun hitam dengan garis leher yang sangat rendah.
"Ia tidak terlalu tinggi." Jose meneliti.
"Ya, ya, kakinya memang agak pendek. Torsonya yang panjang," timpal Vina.
"Dadanya tidak rata. Itu yang penting untuk konsep ini."
Oke, mulai.
Angkat dagumu. Agak miring. Jangan kelihatan gigi. Sentuh berlian itu.
Percobaan pertama di kertas polaroid. Lampu berkerjab di ruang studio yang gelap. Lalu seperti biasa, gosoklah bagai Aladin. Lihat jin macam apa yang keluar.
"Apa lagi ini?" Jose tak dapat menahan rasa terkejutnya ketika ia memisahkan polaroid dari lapisan hitam. "Sinting."
Dengan penuh rasa ingin tahu, kami semua bergegas mengerumuninya.
"Apa ini?"
"Cahaya merah."
"Seperti foto pada Susan."
"Aneh sekali."
"Ini seperti-"
"Jari."
"Jose, perhatikan baik-baik. Ini tangan manusia."
Ya Tuhan... Aileen menutup mulutnya ketika melihat gambar dirinya sendiri. Tangan itu ada di leherku.
Aku dicekik.
***
"Seniman memanfaatkan resolusi polaroid yang berbeda dengan film," tutur Jose dalam salah satu ceramahnya. "Warna polaroid terlalu instens, terlalu dramatis. Terkesan tak nyata. Lucas Semaras mempercayai fotografi polaroid untuk mendapatkan imaji-imaji fantastis."
"Maksudmu?"
"Intinya, Andri." Jose menepuk bahuku. "Polaroid kerap menipu. Berlebihan. Artifisial."
"Lalu Warhol dengan kelamin-kelaminnya?"
"Murahan."
***
Sejak kejadian aneh yang dialami Susan dan Aileen, studio Jose diisukan berhantu. Rumor menyebar dengan cepat. Bagi sebagian orang ini hanya bahan obrolan yang bisa ditambah-tambahi agar lebih menarik, tapi sebagai lagi menganggapnya serius dan bahkan mendorong Jose untuk memanggil paranormal. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi dengan para model sesudah mereka pulang?
Jose sendiri tak terlalu peduli. Hantu mungkin bisa menjadi daya tarik studioku, sanggahnya. Sementara aku jadi ingin tahu sejarah di balik studio yang tadinya rumah tua itu. Penjual rokok berambut putih yang kiosnya tak jauh dari situ mungkin mengetahui sesuatu. Ketika Jose sedang pergi, aku membeli rokok sambil menunjukkan kedua foto polaroid pada si Bapak Tua.
Penjual rokok itu mengamatinya sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. Ini bukan trik kamera?
Aku menggeleng.
Lalu ia mulai berkisah. Konon di rumah ini, tak lama sesudah kemerdekaan, memang ada gadis yang bunuh diri. Ayahnya terbelit hutang. Karena di keluarga itu ia yang tercantik, keluarganya memaksanya menjadi istri muda seorang pedagang kaya. Si gadis, yang sebetulnya tidak dekat dengan lelaki mana pun, menolak keputusan sepihak itu. Tapi di rumah itu, ia tidak memiliki suara. Dua minggu sebelum perkawinannya, ketika tak ada orang di rumah kecuali dirinya, ia mengurung diri di kamar. Tetangga berdatangan karena mencium bau asap dari rumah itu. Sang putri mengamini kebisuannya. Ia membakar diri.
Sebelum rumah itu dibeli Jose dan dijadikan studio, pemiliki lamanya kerap mendengar suara pintu berdecit-decit atau langkah kaki yang entah dari mana datangnya. Namun hantu itu tak pernah menampakkan wujudnya. Orang-orang tahu ia berkeliaran, tapi ia tak mengancam.
Saat kusampaikan berita ini kepada Jose, ia hanya melipat tangannya sambil seseskali melihat ke jendela. Seluruh ceritaku ditanggapinya dengan mengangkat bahu. Mungkin benar. Cuma isapan jempol. Tapi apa pun itu bukan hal yang penting.
Kuperhatikan lagi foto Aileen. Seandainya dia memang arwah penasaran, mengapa Aileen hendak dicekiknya?
Tunggu.
Itu bukan gerakan mencekik. Tangan-tangan yang seolah-olah tak bermula itu begitu lemas, tidak memaksakan apa-apa. Jari-jarinya tidak hanya menempel pada leher, tapi juga tulang selangka.
Ia tidak mencekik, tapi ingin memeluk.
Kubayangkan ia ada di sana, di tempat Aileen duduk dan memamerkan berliannya. Kepalanya ada di atas kepala si model, agak ke belakang, lalu ia merendah hingga bibirnya dekat betul dengan leher perempuan itu. Ia berbagi pedih lewat kecupan dingin. Rambut Aileen sempat dibelainya dengan jari-jarinya yang serapuh angin. Sang arwah ingin mendekat dan memagut, mungkin bermain-main, seperti ketika ditindihnya kaki Susan dengan kakinya.
Kubayangkan perempuan itu bening seperti air, tapi tak bisa ditembus. Napasnya tentu pernah begitu hangat.