Sebuah foto mampu menangkap realitas bahkan lebih banyak dari yang kau yakini.
Di awal tahun 2000, sebelum fotografi digital populer di Indonesia, para fotografer profesional tergantung pada polaroid. Sebelum pemotretan yang sesungguhnya dengan menggunakanslide, mereka mengambil gambar instan instan dengan kertas polaroid yang dimasukkan ke dalam backfilm kamera medium format untuk melihat ketepatan cahaya dan komposisi. Lalu polaroid, yang ditutupi lapisan hitam, dikeluarkan dan dikeringkan. Gunakan pengering rambut atau gosok perlahan. Pisahkan lapisan hitam dari gambar, lantas... simsalabim.
Menunggu hasil foto di atas kertas polaroid seperti membuka kado ulang tahun. Kau mengira-ngira, namun tak tahu pasti apa yang akan muncul di sana.
***
Meski dibangun di atas sebuah rumah tua, studio Jose direnovasi agar menampilkan wajah terkini. Lantai keramiknya berwarna putih dingin, sama persis dengan warna dindingnya yang digantungi foto-foto hitam putih terbaik sang fotografer. Dua buah sofa dan meja kecil berwarna hitam pekat meredam putih yang terlalu menyilaukan. Hiam muncul lagi pada peralatan fotografi, tripod, lampu, softbox, dan kamera. Hitam putih begitu tegas seperti papan catur. Atau simbol yin yang.
Studio ini mengundang komunitas tersendiri. Walaupun sebagian orang sengaja membayar mahal untuk mendapatkan foto wisuda, foto keluarga, foto pernikahan, atau foto pra-pernikahan, target utama Jose bukan mereka. Kliennya adalah majalah-majalah mode yang sebelumnya telah berperan mengantarkannya menuju popularitas dan kemapanan. Spesialisasi Jose bukan sembarang mode, tapi mode untuk mereka yang berkelas: kalangan yang bisa mengerti seni dalamfashion fotography.High fashion, edgy fashion. Karya-karyanya terpampang mengilat di lembar demi lembar majalah perempuan papan atas dan dipamerkan diballroomhotel berbintang lima.
Pendapat Jose tidak hanya berpangaruh di media, tetapi juga dalam acara-acara seperti pemilihan model. Aku tidak pernah bisa melihat model seteliti Jose. Matanya yang tajam tanpa ampun bisa membedakan calon supermodel dengan calon pecundang, atau menarik garis batas antara wajah ekslusif dan wajah murahan. Ia bisa mengukur dengan pasti hidung yang terlalu panjang, terlalu pesek, dagu yang terlalu condong ke depan, pipi yang terlalu lebar, garis-garis muka yang terlalu maskulin, wajah yang tidak simetris.
Aku sangat mengagumi Jose. Walaupun ayahku bersepupu dengan ayahnya, rasanya kami memiliki jalur nasib yang benar-benar berbeda. Ayahku tinggal di Padang, menjadi guru SMP, sedangkah ayah Jose merantau ke Jakarta semasa mudanya untuk bekerja sambil bersekolah. Setelah cukup mendapatkan pengalaman dari perusahaan-perusahaan besar, ia membuka bisnis garmen sendiri, dan kemudian meraup kesuksesan hingga mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Setelah menamatkan sekolah menengahnya, Jose berangkat ke Los Angeles untuk belajar fotografi. Awalnya pamanku, ayah Jose, tidak setuju, tapi karena si anak berkeras hati, ia menyerah. Dua kakak Jose sudah kuliah bisnis, jadi sedikit penyimpangan bukan masalah besar.
Jika Jose menjadi fotografer kontributor di suatu majalah, seluruh kru pemotretan akan datang ke studio ini. Redaktur mode dan asistennya yang sibuk dengan satu koper gaun pinjaman dari butik. Mereka memegangi gaun dengan ekstra hati-hati. LV. Dior. Gucci. Terlepas satu benang taruhannya uang. Selain orang-orang dari majalah eksklusif, tak pernah absen penata rias yang melenggang dengan koper perak berisi bermacam-macam bedak cair, bedak padat, pemulas pipi, perona mata, dan berbagai ukuran kuas. Penata rias ini pun terkadang membawa asistan.
"Hai, Jose," redaktur mode majalah Warna, Vina, mencium pipi si fotografer. Ia seorang perempuan kurus dengan kacamata berlensa cokelat yang selalu bertengger di kepala, menjadi asesoris bagi rambut pendeknya yang dipotong bertingkat-tingkat seperti helai daun cemara.
"Vin, Vin..." Jose mengeluh setelah membalas ciuman persahabatan itu. "Kenapa pakai si Susi?"
"Susan?"
"Susan,whatever. Wajahnyaflat."
"Ya, aku tahu. Tapi tidak ada pengambilan gambarclose up. Fokus kita kaki dan sepatu."
Kulirik Susan, model yang saat ini sedang dirias. Jose bilang dia tipe model yang memaksakan diri. Memang, dia memiliki kaki jenjang yang indah dan kulit kecokelatan yang halus. Eksotis. Tapi untuk ukuran mode, wajahnya terlalu lebar, pipinya agak gembil, dan hidungnya kurang mancung. Susan sendiri sangat menyadarinya.
"Gila, pipiku tetap seperti apel." Bayangan di cermin membuatnya mengeluh. Lalu ditengoknya aku. "Padahal aku sudah mati-matian diet, lho, Ndri."
Aku senang dia ingat namaku.