Ini kuketahui, tapi tak kubagi. Rahasia kecil yang kusimpan sendiri. Jose tetap tak peduli sampai si hantu muncul lagi di sesi pemotretan yang lain dan mengacaukan segalanya.
***
Ini pemotretan yang tak pernah kulupa. Pemotretan yang memberikan pemahaman padaku - tentang duniaku dan dunia yang asing - dengan caranya sendiri.
Sebuah wajah ingin menampilak nfoto seluruh wajahclose up, untuk sampul edisi terbarunya. Obyeknya adalah model indo favorit Jose, Sofia, yang sedang naik daun sebagai presenter acara televisi. Jose mengagumi mata cokelatnya yang mirip kacang almon, batang hidungnya yang tinggi, tulang pipi Audrey Hepburn-nya yang aristokrat, dan bibirnya yang penuh. Wajha Eropa yang sudut-sudutnya tak bercacat, sempurna untuk difoto dari jarak dekat. Dan foto itu memang hanya tentang wajah. Tak ada tubuh, tangan atau pun kaki.
Aku tak banyak tahu tentang Sofia seperti aku mengenal Susan dan Aileen. Ia seperti putri lilin yang terlalu indah, tak boleh terlalu banyak bergerak atau ia akan meleleh. Bila kutanya, ia hanya menjawab dengan senyum dikulum atau satu dua kata. Ia hidup di kerajaan yang dilindungi benteng-benteng, dan penghuninya berbicara dengan bahasa beda. Sedangkan aku orang asing dari dunia luar yang menyapanya, sekadar membuat percakapan manusiawi dari balik pintu gerbang.
"Lihat, wajahnya mahal," komentar Jose. "Tapi kalau salahangle, dia bisa mirip kuda."
Jose mulai menyiapkan kameraya. Kali ini semua orang terlihat lebih serius. Menggarap gambar sampul bisa menegangkan seba hasilnya akan muncul di mana-mana, dari hotel hingga kaki lima, dan orang tak perlu bersusah payah membuka majalah untuk menilainya.
Seusai Sofia dirias, cahaya lampu langsung menimpa bulu matanya yang panjang.
"Polaroid."
Ritual itu berjalan lagi. Jose menarik kertas polaroid keluar daribackfilm, menggosoknya lalu melihat hasilnya. Seperti semua yang hadir di situ, aku menunggu sesuatu. Bukan hanya wajah Sofia, tapi sesuatu yang lain.
Namun, sesuatu yang ganjil terjadi. Jose tidak melihat cahaya aneh di sana. Tidak ada kehebohan maupun sensasi. Semuanya seusai dengan harapannya.
"Oke, langsung slide," ia memutuskan sendiri, lalu menyiapkan film.
Kuambil hasil polaroid yang ia letakkan di meja. Aku terkejut, kemudian menatap Jose keheranan. Bagaimana mungkin dia tidak memperhatikan? Kutepuk bahunya ketika ia bersiap-siap memotret.
Apa lagi? Jose sedikit gusar.
Aku melihatnya. Sesuatu yang luput dari mata sang fotografer. Bola mata Sofia yang cokelat menjadi merah menyala. Ia seperti kucing yang menjadi perantara roh. Mata itu bukan matanya.
"Tidak ada apa-apa di sana," Jose menegaskan.
"Ada."
"Tidak."
Ia tak mau mendengarku. Ia tak melihatnya. Kami beradu pandang untuk beberapa lama, sama-sama merasa benar sampai akhirnya aku melengos.
Terserah. Ia yang berkuasa di sini.
Jose melanjutkan sesi pemotretan dengan penuh percaya diri. Aku tidak berkata apa-apa lagi.
Dua hari kemudian, Redaktur Pelaksana menelpon Jose melalui ponsel. Wajahnya antusias berubah menjadi muram. Ia menutup telepon dan menceritakan sebuah kabar buruk. Foto-foto itu harus diulang karena sebagian wajah Sofia tertutupi cahaya merah. Wajah perempuan itu seperti terkena air panas pada satu sisi, sehingga sisi itu harus di tutupi oleh topeng separuh. Tapi topeng itu nyaris transparan hingga kau bisa melihat bopeng-bopeng pada kulitnya.
Jose mengatup rahangnya. Ia terduduk di sofa hitamnya, membisu, tak bisa menerima maupun membagi kekalahannya.
"Aku sudah mengingatkanmu," kataku pelan, berusaha tak menyinggungnya. "Aku melihat matanya."
"Siapa dia sebenarnya?" Ia menoleh ke arahku. "Kenapa dia menggangguku?"
Saat itulah, untuk pertama kalinya, Jose peduli pada hantu di studionya. Ia berjalan tergesa-gesa menuju lemari kecil dan mengambil kamera. Seperti kesetanan, ia memotret studionya sendiri, tanpa model, dari berbagai sudut. Tangannya yang gemetaran karena marah memasukkan dan mengeluarkan polaroid.
Berkali-kali. Berkali-kali.
Siapa pun kau yang sedang bermain-main denganku, keluarlah.
Ia mencari cahaya merah itu.
Berlembar-lembar kertas polaroid dipegangnya. Lampu-lampu ajaib digosoknya. Aku menunggu.
Tapi ia tetap tak menemukan apa pun.
Kala kekesalannya menggunung, dilemparnya kertas-kertas itu ke lantai.
Setan pengecut. Sekarang dia sembunyi.
Jose tersengal, bernafas dari mulutnya. Tanpa melihatku yang hanya berdiri mematung mengamatinya, mengawasinya dari sudut mataku, ia berjalan membuka pintu studio dan membantingnya.
Sekarang sepi, seperti hujan yang tiba-tiba mereda, dan aku sendirian di dalam studio hitam putih.
Aku berjalan memunguti polaroid yang berserakan, buah kemarahan Jose, seperti layaknya tukang sapu yang membersihkan rumah dari sisa-sisa pita dan balon pesta. Ketika berjongkok, kulihat ada sesuatu di sana. Sesuatu yang jelas sekali. Entah mengapa Jose tidak melihatnya.
Aku merasa dingin di sekitar tengkuk.
Polaroid lagi-lagi menunjukkan padaku sosok yang tak tertangkap Jose.