Satu~ (2)

1.2K 64 0
                                    

AYA

Aku mengendap-endap keluar rumah sebelum Royan bangun dan meluncur ke kamarku untuk menginterogasi. Aku harus membuat keputusan dulu sebelum keluargaku tahu bahwa aku lolos SNMPTN. Dan keputusan ini sangat berat, mereka tidak akan setuju dengan keputusanku jika aku berniat tidak mengambil kesempatan ini. Kecuali aku sudah punya rencana yang meyakinkan, dan aku benar-benar belum menemukannya sekarang. Aku bahkan belum bisa memikirkan apapun dengan jernih.

Embun terlihat masih hinggap di udara saat aku sampai di sekolah. Masih jam 6 pagi ketika aku melihat jam tanganku setelah memarkir skuter merahku. Tiga puluh menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi. Sudah ada beberapa siswa lain yang datang, tapi tidak untuk siswa kelas tiga seperti aku, yang datang seenak jidatnya ke sekolah.

"Aya!" Oh my god, jangan sekarang.

Sosok yang memanggil namaku itu berlari dari parkiran ke arahku, langsung merangkul pundakku saat sampai di sampingku. Psikopat satu itu, Azka. Dia seharusnya adik kelas dua tahun di bawahku tapi sekarang justru lulus bersamaku. Si jenius sialan dari kelas akselerasi yang entah kenapa selalu sangat bahagia setiap kali bertemu denganku. Biasanya aku juga suka menanggapi ajaibnya dia yang sangat ceria luar biasa itu, tapi benar-benar tidak saat ini.

"Gimana? Lolos arsitektur-nya?" tanyanya menatapku.

"Kalau aku jawab enggak, kamu percaya nggak?"

"Percaya aja. Apapun bisa terjadi di hidup ini. Orang kayak aku juga bisa aja nggak lolos,"

"Huh! Mana mungkin,"

"Nah, nggak percaya kan? Sama tuh kayak aku nggak percaya kalo kamu nggak lolos Ay,"

Aku memicingkan mata menatapnya. Si kunyuk sialan ini selalu memanggilku hanya dengan nama panggilanku saja, tidak peduli bahwa aku lebih tua darinya dan seharusnya dia memanggilku dengan lebih respek, menggunakan embel-embel Mbak, Kak, atau apapun yang menunjukkan senioritas. Tapi dengan entengnya dia selalu membela diri, dengan mengatakan kalau kita sama-sama sudah kelas 3, ngapain harus panggil kakak? Yah, satu sisi dia benar, di sisi lain dia menyebalkan.

Tapi detik ini entah kenapa aku merasa aku membutuhkan kunyuk sialan ini untuk membantuku mengambil keputusan. Sebab aku tahu dia tidak tahu tentang masalahku dengan Rena dan Allen. Oknum yang tidak terlalu memahami apa yang terjadi pada kita biasanya bisa memberikan solusi yang sesuai dengan hati nuraniku. Yah, itu sebenarnya hanya premis ngasal buatanku. Yang jelas aku harus menemukan solusi detik ini juga.

"Udah sarapan belum? Bu Dodo yuk?" Aku tersenyum menatapnya.

- - -

Read More disini: 

https://play.google.com/store/books/details?id=z-p_DQAAQBAJ


Escape PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang