3

50 5 9
                                    

Hembusan angin yang cukup kencang ditepi Gateway Mumbai membuat gaun panjang dan longgar Anjani berirama mengikuti arah angin. Ya, sore yang dingin seperti Anjani diam berjalan didepanku dan aku mengikuti.

Mereka mengatakan tempat ini adalah bersejarah. Bagiku juga merupakan sejarah. Bermodalkan ponsel semata, aku mengikuti Anjani lewat ig-nya. Berjalan, naik kereta sendirian sungguh pengalaman travel yang luar biasa.

Kami sampai di sebuah Cafe dengan arsitektur cukup membuat mata terpana. Ukiran-ukiran kayu khas India dengan view menghadap ke laut sambil memandangi Anjani.
"Pesan apa ad?", tanyanya menyodorkan menu tersebut.
"Aku yakin seleramu sangat bagus, apa yang kau pesan menjadi 2", jelasku dengan singkat.
Lalu dia langsung mengiyakan, ku harap dia bisa menjadi tourguide yang baik.

Lama kami terdiam bersama. Kadang mata kami berkontak dan kadang melihat keadaan sekitar.
"Jadi tujuan kau kesini apa Ad dan kau mau ngomong apa?", sepertinya dia sangat penasaran dan membuka pembicaraan.
"Pertama, aku mau minta maaf dulu An atas semuanya", aku mulai merasa bersalah.
"Ha? Jadi kau kesini jauh-jauh datang dari Indonesia hanya untuk meminta maaf? Kemana akal sehatmu?", katanya tajam.
"Bukan begitu An. Jangan baper dulu An. Aku bukan mau ngomong itu aja. Banyak. Salah satunya itu dulu. Kau harus memaafkanku dulu"
Dia menghela nafas panjang. "Ad, 8 tahun bukan waktu yang singkat. Maaf memaafkan itu soal yang mudah. Sekarang, kau kesini hanya untuk itu?"

"Aku juga bingung An harus mulai darimana. Terlalu banyak telah terlewati"

Anjani sahabatku. Aku telah mengkhianati persahabatan kami sampai pada hari kepergiannya meninggalkan Indonesia saja aku tidak tau karena emosiku yang masih dibilang tidak stabil.
Pada hari itu, aku tak percaya dia bermain curang saat UAS. Dia membuat sebuah catatan kecil meja ujiannya. Hal itu tertangkap basah oleh guru pengawas. Aku sangat kesal melihatnya, malu dan marah. Aku tidak menyangka perjanjian kami untuk bersaing secara sehat dia ingkari.
Kami memang terkenal siswa yang cukup pandai. Bayangkan saja jika olimpiade kami selalu juara hingga tingkat Nasional. Sampai pada hari itu, aku tidak mau mendengarkan penjelasan dia lagi. Aku tau niatnya curang untuk mengalahkan nilaiku.
Aku mendiamkannya sampai pada UN selesai. Setiap hari dia meminta maaf dan memberikan penjelasan aku tidak peduli.
"Untuk apa Anjani kau lakukan ini? Hanya karena kau ingin berada diatasku? Jangan harap aku ingin punya sahabat sepertimu lagi", begitu aku langsung pergi meninggalkannya dengan wajahnya yang berlinangan airmata.

Ya Anjani bilang bukan dialah pelakunya. Maling mana yang mau ngaku kalo tidak LP sudah penuh mungkin. Tetapi sampai pada akhirnya aku mendengar, "Den, kau memang anak yang pandai haha", ujar Fadli.
"Iya Deni pandai sekali menyamakan tulisannya dengan tulisan Anjani", sambung Rio yang asyik pegang stick PS.
"Iya dong. Habisnya Anjani payah. Nempelnya sama Addar terus. Sekalian aja deh aku kerjain Anjani. Udah nolak aku sih haha", jelas Deni dengan berlagak sombong.
Aku yang baru mau memasuki kamar Deni setelah izin dari mamanya  sontak emosi dan melayangkan tinjuan ke wajahnya sok tampan itu.
Yah, hari begitu singkat. Wajahku juga lebam dan harus dirawat inap.

Mama berusaha berlagak seperti polisi menanyakan bagaimana kejadiannya dan mengapa terjadi. Aku tetap saja tidak berbicara.
"Kemarin Anjani datang ke rumah. Tapi dia tidak menanyakan kamu dimana. Dia hanya menitip sebuah kotak Ad", mama memberitahu.
"Lalu dimana kotaknya Ma?", tanyaku bersemangat. "Dirumah", jawab mama singkat.
Aku memukul mama,"Kenapa tidak bawa saja kemari ma", kesalku.

Hari itu juga aku pulang ke rumah. Seolah-olah aku rindu sekali kepada rumah yang kutinggal selama 3 hari.
Padahal, aku hanya penasaran dengan kotak Anjani.

Ketika kotak itu dibuka, sungguh aku laki-laki yang malang. Dia mengucapkan kata perpisahan disecarik kertas buku tulis.

Addar,
Tetaplah sahabatku.

Aku tidak habisnya mengucapkan maaf kepadamu. Aku sudah beribu kali mengatakan bukan aku yang melakukannya. Bukankah menjadi sahabat adalah percaya satu sama lain? Tapi kali ini tidak. Kau tidak percaya lagi.
Aku tidak akan menulis panjang lebar. Kuharap kau mengenal betul bentuk tulisanku bagaimana aku menggoreskannya. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Bukan aku ingin mengakhiri hidupku hanya gegara masalah itu. Tapi besok aku akan pulang ke India. Ke tempat Ibuku dilahirkan dan dibesarkan namun tak pernah merasakan sakralnya sebuah pernikahan.
Aku tidak tau menau soal dimana aku akan tinggal. Aku harap kita masih sempat bertemu berucap kata pisah yang sebenarnya dihadapanku. Kau tetaplah Addar sahabatku biar membenci berakar pada dirimu. Aku yakin kau akan sukses. Aku tidak pernah merasa diatas ataupun dibawahmu karena kita selalu bersama untuk maju.

Anjani Maheswari.

Bersama sebuah benda didalam kotak yang kusebut heartmeter dia kembalikan dengan utuh. Malam itu menjadi sangat dingin bersama hujan aku tersentuh.

Heart meterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang