BAB 3 - BAGIAN 2

701 44 1
                                    


BAB O3, BAGIAN O2.

[ EDITED ]


Terhitung sejak pertemuan pertamanya dengan si cowok ngeselin itu beberapa hari yang lalu, kesialan Valerie sampai detik ini lengkaplah sudah.

Jarum jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk titik di antara angka empat dan lima, saat ia kembali mengulang apa saja yang dibicarakan Coach Joe serta Rafael, si ketua sekaligus kapten klub futsal, pada rapat dadakan sepulang sekolah tadi.

Kalimat Coach Joe yang berkata bahwa manajer tidak diikutsertakan atau tidak akan menjadi pembimbing pada saat pelatihan per kelompok setiap minggunya hingga dua bulan ke depan sebelum hari tes seleksi anggota ini, membuat dirinya nyaris jingkrak-jingkrak membayangkan setiap sabtunya sekitar pukul sebelas siang, sudah bisa pulang dan bersantai-santai ria di rumah. Sementara pembimbing kelompok junior yang lain harus meluangkan kurang lebih tiga jam untuk melatih para junior yang masih baru di klub. Jadi, jika ditotal, para pembimbing yang lain akan menghabiskan waktu mulai dari delapan pagi hingga dua siang.

Great.

Namun, fakta selanjutnya bahwa anak pindahan tersebut tidak akan menjadi bagian dari kelompok mana pun, yang isinya para junior, membuat Valerie was-was. Dan cukup ingin meninju bantal gulingnya saja saat tahu bahwa manajer harus menjadi pembimbing privat satu-satunya anak pindahan tersebut.

Sungguh, sial, oh, sial.

Siapa kira Valerie akan lebih banyak meluangkan waktu di sekolah? Maksudnya, jika normalnya menghabiskan kurang lebih 6 jam untuk latihan fisik dan bola, dengan segala sisi menyebalkan cowok itu, bisa-bisa Valerie menghabiskan 10 jam lamanya.

Keputusan sepihak Coach Joe yang sejak awal seakan memihak kepada Dale membuat Valerie angkat suara. Namun, kembali dipatahkan lagi protesnya itu kala jawaban Coach Joe yang berkata bahwa Dale memiliki banyak track record yang bagus di bidang sepak bolanya, di sekolah asalnya, di Jerman. Dengan begitu, Coach Joe merasa bahwa seorang manajer yang kerjanya membantu pelatih di bagian pendataan tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mengurus seorang anggota baru yang memang sudah ahli.

Hanya perlu mengawasi dan memberi arahan, that's all.

Kalau sudah begitu, Valerie juga tak bisa menolak. Apalagi jika sudah Coach Joe langsung yang menjawab aksi protesnya. Kalah telak.

"Ngelamun mulu," suara itu membuat mulut Valerie yang belum berhenti mengumpat tanpa suara sejak rapat dibubarkan akhirnya diam juga. Ia menoleh ke sumber suara. Asqa.

Valerie yang biasanya penuh dengan ledakan di setiap ucapannya, kini berbeda seribu persen dari biasanya. Asqa sadar, namun memilih untuk tak bertanya. Lelaki itu masih sibuk membereskan sepatu futsalnya dan handuk kecil untuk dimasukkan ke tas olahraganya.

Setelah selesai dengan barangnya, Asqa menarik jaketnya. "Lo gak pulang, Val?"

"Gak bawa motor," Valerie menjawab sambil menggeleng. "Mana ujan lagi tuh," tambahnya, menunjuk kaca ruangan futsal yang dibasahi oleh titik-titik air hujan.

Asqa manggut-manggut setelah melihat apa yang ditunjuk Valerie tadi. "Regan?"

"Dia gak futsal. Ada urusan."

Asqa kembali manggut-manggut. "Kalo tadi gue bawa Ferrari kesayangan gue aja, gue anterin deh," katanya, ngasal abis. Beli nasi padang aja minjem duit si kapten, ini lagi pake acara punya Ferrari segala. Mau nganterin lagi.

"Banyak gaya lo, nyet." Valerie mencoba untuk tertawa, walau akhirnya yang keluar dari celah bibir hanya dengusan tak berarti. Kemudian badutnya klub futsal itu berlalu, tepat saat Valerie menguap untuk kesekian kalinya.

Mungkin karena terlalu banyak begadang untuk mengerjakan tugas demi tugas Fisika dan Kimia yang tidak ada ujungnya itu tadi malam. Sampai-sampai kantung mata sudah sebesar kantung Kangguru, bisa buat ngantungin anak di sana.

Hujan belum berhenti sejak satu jam yang lalu, maka kedua tangan Valerie terulur, dilipatnya di atas meja di ruangan futsal itu lalu kepalanya beristirahat di atas lipatan tangan.

Matanya masih saja sibuk mengamati sekitar saat dirinya memerintah untuk tidur sejenak. Sampai akhirnya ia bahkan enggan berteriak saking lemasnya raga, bahkan ketika matanya menangkap sosok yang membelakanginya—yang alhasil, membuat Valerie hanya bisa melihat punggung dari orang tersebut. Entah apa yang sedang dilakukan orang itu, Valerie memilih untuk mengalihkan pandangan. As long as it's not ghost, or is it? Valerie mending tidur saja.

5 menit berlalu. Dan Valerie sudah dalam dunia bawah sadarnya kala sosok itu menghela nafas panjang.

Sosok yang sejak tadi berkutat dengan tugas yang deadline-nya besok pagi. Laki-laki itu mengernyit sebentar, merasakan bahwa, sepertinya, bukan hanya dirinya yang berada diruangan itu. Setelah perbincangan Asqa dan—gadis yang baru dikenalinya beberapa hari belakangan ini—Valerie, tidak ada lagi yang didengarnya dari balik earphone-nya. Jadi menurutnya kedua orang itu sudah berlalu.

Ia kemudian melepaskan salah satu earpiece yang terpasang di kedua telinga. Tapi, tetap saja, dirinya masih fokus dengan apa yang ia kerjakan di laptopnya.

Tugas biologi yang gurunya berikan membuat ia agak frustasi. Lihat saja, rambut cokelatnya sudah berantakan karena ulah tangannya sendiri. Apalagi ia enggan mengerjakan tugas tersebut di rumah. Dengan alasan sederhana, haram menurutnya untuk mengerjakan tugas di rumah. Sekolah disediakan untuk belajar, dan rumah ditempati untuk beristirahat.

Bukan sesuatu yang patut dicontoh, indeed.

Lama-lama, lelaki itu semakin yakin bahwa ada seseorang lain yang berada di ruangan ini. Ia kemudian melepaskan earpiece satu lagi yang masih terpasang di telinga kirinya, untuk memastikan apakah hembusan nafas seseorang itu benar-benar ada. Seseorang yang juga ada di ruangan futsal ini.

Atau mungkin hanya perasaannya saja? Atau mungkin yang ia perkirakan justru bukan orang? Melainkan ... yah, mungkin saja. Tapi otaknya juga masih bisa berfungsi dengan baik, tidak mungkin makhluk halus sampai menggumamkan kata demi kata dengan jelas, sekaligus menghembuskan nafas keras. Ah, tapi, bisa juga, sih.

Maka dibanding berdebat dengan pikiran sendiri, Dale akhirnya memutar badan dengan sempurna. Kali ini benar-benar meninggalkan tugas di laptopnya sejenak. Memicingkan matanya pada objek yang ia temukan detik ini.

Seorang perempuan yang sedang tertidur di kursi dengan jaket bola yang menutupi badan. Perempuan ini sedang mendengkur pelan ternyata. Bukan menghembuskan nafas dengan keras. Tapi, kalau kata-kata yang tadi sempat didengarnya, bisa jadi itu memang bukan si gadis tersebut—atau, entahlah. Dale terlalu payah dalam berasumsi.

Perlahan, sesuatu seperti menarik kedua ujung bibir laki-laki berambut cokelat itu.

Ia beranjak dari tempat, ingin memastikan bahwa yang sedang tidur terlelap itu adalah sosok yang sama yang belakangan ini mengganggu indera pendengarannya. Sudah beribu kali rasanya lelaki itu harus menggosok kedua telinga saat berada dalam radius lima meter dari gadis itu berada.

Ia menghampiri dan duduk di kursi di sebelah meja yang menjadi tempat gadis berambut cokelat itu terlelap.

Benar, rupanya. Ternyata sosok itu belum pergi saat Asqa tadi pamit pulang. Dale kira, mereka berdua keluar dari ruangan futsal bersama.

"Mockingjay, mockingjay." Dale bergumam. Tanpa sadar meloloskan kalimat, "Adem banget liatnya kalau bobo begini."

Ditatapnya terus gadis di depannya. Sebesit senyuman terukir lagi di bibir tipisnya. Good, Daleon, you look like a creepy pervert yang doyannya mesam-mesem hanya karena melihat seorang perempuan tertidur pulas dengan cantiknya.

Oh, crap. That sounds worse.

*** *** ***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MockingjayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang