BAB 1 - BAGIAN 3

422 38 0
                                    

BAB O1, BAGIAN O3.

[ EDITED ]

Sekolah sudah sepi saat Valerie keluar dari ruang futsal, setelah sebelumnya pamit dengan anggota inti lainnya. Seperti biasa pula, dengan Regan di belakangnya yang bersedia mengantarnya pulang karena kini sudah terlalu sore baginya untuk naik angkot. Lagipula, salahnya juga karena tidak membawa motor sendiri.

"Re, gue turun di Cafèccino." suara kalem Valerie lantas dibalas oleh anggukan dari Regan saat ia baru saja menyalakan motornya, dan menjauhi pekarangan sekolah menuju arah rumah mereka. Rumah Regan dan Valerie yang dipisahkan oleh beberapa gang membuat mereka semakin erat hubungannya. Ya, selain nebeng—mereka pun tak jarang saling mengunjungi rumah satu sama lain.

Tak berlangsung lama perjalanan itu terasa, karena kedua remaja tersebut sama-sama membiarkan rasa letih mereka menghantarnya pada lamunan kecil. Beruntunglah jalanan kini sepi sehingga Regan tak perlu terlalu fokus pada jalan di depannya agak tak tertabrak.

Saat sampai, Valerie tersenyum lesu dan melambaikan tangannya pada Regan. Sejurus kemudian, Regan langsung meninggalkan Cafèccino dan menuju ke arah rumahnya.

Cafèccino yang terpaut dekat dengan segala titik seperti pom bensin, rumah Valerie dan Regan, jalan raya yang ramai dengan ojek serta angkutan umum, serta makam, membuat Valerie semakin nyaman. Memang tak semua titik tersebut bisa digapainya dari Cafèccino dengan berjalan kaki barang satu dua menit.

Bahkan kini, langkah Valerie pasti menuju samping dari Cafè tersebut. Jalan sempit ia telusuri, sampai akhirnya ia menemukan gerbang mungil yang menjadi jalan masuknya pemakaman.

Bukan. Valerie memang bukan ingin ke Cafèccino kali ini, namun ingin berkunjung ke sesuatu di dekatnya. Seperti yang sudah disinggung tadi, Valerie sampai ke pemakaman tersebut bukan satu dua menit, melainkan lima menit. Memang agak jauh jarak Cafèccino-pemakaman, namun cukup melegakan karena masih bisa ia tempuh dengan berjalan kaki.

"Ma, Valerie ada di sini lagi." Gadis bersurai kecokelatan itu memasuki gerbang, bergumam layaknya ia sedang berbicara dengan seseorang di sampingnya.

Langkahnya pelan, namun pasti saat ia memutar arahnya ke kanan, menuju sebuah batu nisan yang bertuliskan nama seorang wanita yang sangat ia cintai, bahkan setelah sosoknya tak ada kini.

Valerie kemudian bersimpuh. Menjatuhkan lututnya pada tanah di samping makam Ibunya, lalu berdoa seperti biasanya. Tangannya menyapu air mata yang perlahan luntur dari kelopak matanya tepat saat kepalanya kembali mendongak, menatap batu nisan sang Ibunda yang sudah tenang di alamnya. Tangannya yang lain dengan lembut mengelus ukiran nama wanita tersebut—lalu sejurus kemudian, Valerie tersenyum.

Ibu dari Valerie dipanggil Tuhan saat Valerie berumur 10 tahun. Dahulu sekali, Ayah Valerie bahkan sempat menyarankan untuk memakamkan sang istri di Belanda, kampung keluarga Beliau. Tetapi anak-anak Thomson enggan, mereka menolak mentah-mentah. Membayangkan bagaimana sulitnya jika mereka rindu dengan sosok Ibunda, lalu harus pergi ke Belanda hanya untuk mengunjungi makam sang Ibunda. Jika dipikir oleh logika, benar juga. Tidak mungkin mereka harus menghabiskan berjuta-juta hanya untuk bolak-balik Belanda jika mereka tengah dilanda rindu.

Walau sang Ibunda telah tiada, tetap saja, mereka tetap enggan berada jauh dari sosok Ibu.

"Ma, Val pergi dulu, ya. Mama baik-baik di sana." Valerie tak berhenti tersenyum bahkan saat ia berdiri, dan meninggalkan pusara Ibunya tersebut.

Valerie menghela nafas panjang saat ia nyaris keluar dari gerbang pemakaman. Tepat sebelum seseorang menepuk pundaknya.

Lantas gadis itu berbalik badan, dan mendapati seorang bapak tua tengah tersenyum padanya.

"Eh, Pak Amir." Valerie tersenyum, dengan matanya yang ikut melengkung. Sosok pria tua itu yang selalu setia membersihkan tempat pemakaman ini sehingga para pengunjung merasa nyaman. Sosok yang bagi Valerie adalah orang yang sangat berjasa.

Pak Amir membalas sapaan Valerie dengan wajah sumringah, memang sudah kenal betul dengan gadis blasteran Jerman yang ramah ini. Kemudian, setelah berbincang singkat, Pak Amir harus pamit karena sedang ditunggu orang. Tak lama setelah kepergian Pak Amir dari tempat mereka semula, senyum yang biasanya menampang hingga kaki melangkah keluar dari pemakaman di wajah gadis itu memudar sangat cepat. Seperti bukan Valerie.

Alasannya satu, dan matanya yang menjawab.

Tatapan matanya itu lurus menatap sosok lain yang berdiri cukup jauh dari tempatnya berpijak kini.

Seorang laki-laki yang memakai kemeja yang sengaja dilipat sesiku, dengan beanie hitam yang membungkus rambut coklatnya—yang juga menatap ke arah Valerie. Jaraknya lumayan jauh untuk bisa menebak dengan pasti siapakah pemuda tersebut. Tapi Valerie bahkan bisa melihat jelas bahwa; mata coklat terangnya yang sayu itu terus menatap ke arahnya.

Seakan kalau tidak ditatap lekat, Valerie akan hilang dalam sekejap.

Yang menjadi pertanyaan Valerie adalah, mengapa rasanya ia pernah melihat laki-laki itu. Mengapa rasanya ia sangat menghafal bagaimana rupa laki-laki tersebut. Posturnya, rambutnya yang dilindungi beanie, wajahnya. Valerie refleks memicingkan mata, memfokuskan netra pada objek yang ia pandangi.

Sedetik kemudian, Valerie menelan ludahnya. Diam-diam membantah pikirannya sendiri bahwa orang yang ia tatap sejak tadi adalah ...

Si cowok skateboarder menyebalkan kemarin dengan penampilan tanpa jambul pendek yang menghiasi rambutnya—ciri khas yang langsung ditangkap Valerie saat bersiteru dengannya kemarin. Tanpa skateboard di sekitarnya dan tanpa headphone yang menggantung di leher. Cowok itu terlihat jauh lebih rapih dibanding kemarin, berpuluh-puluh kali lipat terlihat tenang dan santai.

Baru saja labia merah muda Valerie ingin membuka, mengeluarkan suara yang entah hendak melontarkan apa, laki-laki itu berlalu. Tanpa satu kata yang terucap. Tanpa satu sindiran pun. Tanpa ocehan-ocehan tak jelasnya. Tanpa melontarkan apapun dari mulut bawelnya.

Bahkan tanpa menghampiri Valerie dan berkata judes, 'Bersihin skateboard gue, sekarang.'

Valerie tidak seharusnya terlalu banyak dan berimajinasi.

Karena kenyataannya, sosok itu adalah salah satu dari banyak hal yang memang sulit ditebak.

Setidaknya, oleh Valerie.

*** *** ***

MockingjayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang