Empat gundukan tanah merah yang nyata-nyata masih tampak baru berjejer di lahan sebelah utara Pemakaman Umum Beckenham. Pemakaman tua itu sebenarnya sudah lama ditinggalkan, tak ada lagi warga yang menguburkan keluarganya yang meninggal di sana. Sudah ada pemakaman umum baru di Jalan Epping Lane di selatan kota yang difasilitasi dengan lebih baik, tapi dua hari lalu akses menuju jalan tersebut ditutup sementara karena adanya longsoran batu dari tebing Rockwood. Jadilah pemakaman empat orang anak dari keluarga terpandang di kota ini dimakamkan di antara makam-makam tua yang sebagian bangunannya rusak, berlumut, tak terurus, bahkan hampir tak bisa dikenali lagi nama yang tertera di atas nisan-nisannya.
Upacara pemakaman sudah selesai sejak siang tadi. Sebagian besar penyelawat sudah kembali ke aktivitasnya masing-masing, tapi masih ada seorang gadis dan sepasang suami istri di sana. Amber Strickorse memilih bertahan walau orangtuanya berusaha membujuknya pulang.
"Aku segera menyusul," bisiknya lemah setelah kembali dipaksa.
Orangtuanya tak berkata apa-apa lagi. Pasangan suami istri itu, Paul dan Diana Strickorse, saling berangkulan saat berjalan keluar dari area pemakaman menuju tempat mobil mereka terparkir. Gurat kesedihan nyata membayang di wajah mereka yang terlihat berkali-kali lipat lebih tua dari umur mereka sebenarnya.
"Dasar, berengsek! Gara-gara kamu, kami semua jadi mati!"
Gregory berdiri di depan Amber. Ujung jarinya menekan kening gadis berambut tembaga berpakaian hitam-hitam itu. Amber sebenarnya menyadari kehadiran Greg, tapi memilih tak mengacuhkan pemuda yang kini sudah jadi arwah penasaran tersebut. Pandangannya terpaku pada nisan bertuliskan 'Amanda Strickorse'. Kakaknya—yang sudah mati itu—tampak berjongkok, mengelus nisan berukir nama dirinya sendiri sambil menangis tersengguk-sengguk.
"Kenapa kamu jadi nyalahin dia, Greg? Semua ini gara-gara kamu. Kamu yang ngebut, kamu yang nggak mau mendengarkan!"
Gracie menarik kerah kemeja biru Gregory yang kini telah bernoda darah di mana-mana. Wajahnya hanya terpisah beberapa senti dari wajah Greg yang tampak remuk di sisi kiri. Darah mengering di sana, menciptakan kesan horor. Keadaan yang tak jauh berbeda juga dialami ketiga orang lainnya. Wajah dan tubuh penuh darah, baju sobek, rambut acak-acakan, beberapa bagian tubuh patah dan luka-luka. Mereka semua sudah layaknya zombie saja. Gracie mendorong pemuda itu dengan kesal sampai terjajar beberapa langkah ke belakang.
"Cewek itu cuma bilang kita bakal celaka, tapi nggak jelasin kalau maksudnya kecelakaan! It-itu punya arti berbeda, kan?" Greg bertanya bodoh, masih mencoba membela diri.
"Jadi kita berakhir seperti ini, tapi kenapa kita belum ke surga? Umm ... kita bakal masuk surga, kan?!" Derrick bertanya panik. Ia menatap wajah temannya satu per satu dengan kepala yang teleng menempel di bahu kanannya karena patah, menuntut penjelasan.
"Sial," desisnya setelah tak ada satu pun yang menjawab.
"Ini semua gara-gara kamu, Greg. Kamu penyebab kecelakaan ini terjadi. Kamuuu ...!" Derrick menjadi tak terkendali. Histeris. Ia meremas rambutnya sendiri dan menjenggutnya kuat-kuat dengan wajah panik lalu meracau cepat dengan kata-kata tak jelas.
"Amber, kamu tahu nggak kenapa kami masih di sini? Haloo ...."
Gracie mendekati Amber, lalu dengan gerakan main-main melambai-lambaikan tangannya di depan wajah gadis itu yang sepertinya tak terganggu. Amber bahkan tak berkedip, matanya tetap terpaku ke satu titik yang sama. Dada gadis muda itu naik turun. Sesak. Mandy menangis di ujung sana dan ia tak bisa melakukan apa pun yang bisa membantu sang kakak. Kecuali ... kakaknya sendiri yang memintanya.
"Sudah kubilang sama kalian, jangan lewat Walnut Hill," desis Amber dengan bibir bergetar. Gadis itu mengusap titik air di sudut matanya, lalu berjalan berbalik menjauhi area pemakaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WATCH YOU WHILE YOU'RE DRIVING
ParanormalPeristiwa-peristiwa buruk bisa menimpamu kapan saja, di mana saja, termasuk di jalanan. Apalagi bila kau mengabaikan peringatan yang sudah disampaikan.