Chapter 4

1.1K 45 3
                                    

Minggu ini, entah kenapa, Raja tidak ada di meja kafe favorit Ratu.

Ratu mengembuskan napas lega dan tersenyum ragu. Entah kenapa sejak Raja mengatakan ia serius dengan perkataannya, Ratu tidak bisa berhenti memikirkan cowok itu. Seperti, saat ia sedang belajar, mendadak wajah konyolnya muncul dan Ratu malah menggambar wajah itu di kertas grafiknya. Atau saat Ratu bercermin, wajah tersenyum Raja muncul.

Itu semacam kenyataan yang lebih seram dari mimpi buruk.

"Pesan apa?" tanya Tita sambil tersenyum ke arah Ratu yang telah duduk di meja favoritnya.

Ratu membalasnya dengan senyum tipis. "Kopi hitam, kayak biasa, Ta.".

Tita mengangguk, menaruh pena dan catatan kecilnya di saku. Sejenak, ia berhenti untuk melihat tempat duduk yang kosong di sebrang Ratu. Ia baru sadar. Seharusnya, cowok konyol yang sering mengganggu Ratu itu telah datang. Apa Raja telat? Tita menautkan kedua alisnya melihat Ratu tampak wajar dengan tidak adanya Raja. Bahkan dengan perempuan itu membuka layar laptopnya.

Bila Tita menjadi Ratu, Tita akan sangat bingung dan berpikir banyak hal aneh karena absennya Raja.

Karena ini bukan urusannya, Tita pun memilih masuk ke dalam dapur untuk memberi catatan tersebut pada pembuat kopi. Sementara Ratu yang ditinggal oleh Tita sedang menjelajah folder demi folder di document laptopnya.

Kebiasan buruk yang tidak bisa Ratu hentikan.

Melihat video dari Juna. Video yang diberi cowok itu setelah mereka putus. Setelah Juna memberinya bunga dan coklat. Setelah Juna meninggalkannya sendirian di tempat itu dengan luka terdalam yang belum sembuh.

Video itu tetap sama. Tak berubah, tak kurang maupun tak lebih. Hanya ada seorang cowok berumur 16 yang mengutarakan perasaannya pada Ratu. Lalu diakhiri dengan wajah kecewanya. Layar laptop pun berubah hitam. Ya, hanya itu. Namun, Ratu tidak pernah bisa lupa. Seolah pikiran Ratu akan bertuju ke video tersebut saat ia menyendiri.

Terdengar suara helaan napas berat di belakang Ratu. Membuat perempuan itu lantas menahan napas sesaat, menengok ke belakang.

Tampak wajah muram Raja, melihat layar laptop di depan Ratu. Ratu tidak sadar sejak kapan Raja berada di sana. Namun dari reaksinya, Ratu tahu Raja melihat video dari Juna. Dan entah kenapa, rasa bersalah itu datang. Bila Raja benar-benar menyukainya, Ratu menyakiti Raja. Tapi, ini bukan sepenuhnya salah Ratu.

Ratu tidak bisa secepat itu melihat Raja saat otaknya penuh dengan Juna.

"Ya," ucap Raja, membaca ekspresi Ratu seolah perempuan di depannya adalah buku yang mudah dibaca, lembaran demi lembarannya. "Pakai waktu lo sebanyak mungkin buat-entah, buat lupain dia, atau nostalgia dengan dia, terserah. Tapi, gue nunggu, Tu. Gue nunggu sampai lo siap. My Ratu."

"Gimana," Ratu menelan ludahnya, gugup. "Kalo gue gak akan bisa lupain dia?"

Kekehan Raja cukup membuat belas kasihan yang tadi Ratu rasakan padanya memudar. "Cepat atau lambat, lo milik gue. Karena entah sejak kapan lo buat gue sebagai milik lo, tanpa lo sadari," setelah mengatakan kalimat yang membuat Ratu syok, dengan kasualnya, Raja memanggil Tita. "Ta, caramel machiatto sama roti croissant yang biasa, ya!". Ia berjalan santai menuju meja di samping Ratu. Mengambil jarak yang cukup jauh untuk menghindari Ratu, cowok itu hanya menggulir layar ponsel dan sesekali mengetik pesan.

Itulah terakhir kali Ratu berbicara dengan Raja.

***

"Gue bohong sama lo," ucap Raja dengan wajah tegang kala ia duduk di hadapan Ratu, di meja samping dinding kaca yang ada di kota Pekanbaru.

Raja melonggarkan dasinya. Setelah niatnya pergi ke pernikahan Ana dengan Juna, ternyata ia tidak memiliki nyali yang cukup. Maka ia pergi ke kafe yang bersebrangan dengan pinggiran kota . Tidak pernah ia menyangka bahwa ia bertemu Ratu di sini. Hingga akhirnya, Raja sadar bahwa mantan pacarnya dengan Ratu cukup dekat.

Ratu masih melirik tong sampah dimana Raja membuang bunga untuk Ana, seolah bunga tersebut membuatnya bingung. Lalu,Ia melihat Raja. "Maksud lo?"

Setelah percakapan terakhir beberapa tahun lalu, Raja akhirnya menyadari sesuatu. Ia menghela napas, lagi, entah berapa kali. Hanya untuk menghilangkan kecanggungannya. Tapi, ia tidak bisa salah tingkah bila dirinya ingin mengakui satu hal pada Ratu.

"Gue mantan pacar sahabat lo, lo mantan pacar sahabat gue," kata Raja setelah lama terdiam.

Perkataan itu membuat Ratu berhenti bergerak sesaat. Ia menatap Raja bingung. Lalu, Raja melanjutkan dengan membuang mukanya dari hadapan Ratu. "Awalnya, gue kehilangan harapan saat tau lo masih stuck ke Juna. Gue akhirnya berpikir kalo mungkin sebenernya gue stuck ke Ana ... dan, dan, dan," Raja mengusap wajahnya yang sangat grogi, "dan akhirnya, gue berpikir buat lost contact dari lo. Sekarang waktu gue ketemu lo di sini, dengan lo yang masih liat video Juna ... dan gue yang terlalu pengecut dateng ke pernikahan Ana, gue rasa, gue ... gue, gue, gue."

Ratu menautkan kedua alisnya melihat Raja tampak segrogi ini. Cowok yang biasa mengganggunya di kafe itu tampak berbeda. Bahkan wajah konyolnya sedikit pudar. Rambutnya yang acak-acakan kini tersisir rapi ke belakang sehingga garis wajah Raja terlihat.Tunggu, kenapa Ratu jadi memperhatikan Raja seperti ini?

"... gue rasa, gue belom bisa move on dari Ana. Dan lo juga belom bisa move on dari Juna," ucap Raja akhirnya dengan pandangan mata tajam ke arah Ratu, sangat berbeda dengan Raja yang dulu. "Jadi, buat beberapa tahun yang lalu saat gue gangguin lo, gue minta maaf. Gue merasa bersalah karena gue ngerasa kalo lo adalah target pelampiasan gue doang."

Dengan santai, Ratu menyesap kopi hitamnya. Hanya mengangguk kecil pada kalimat demi kalimat yang Raja lontarkan. Hingga Raja mengucapkan kalimat yang membuat Ratu termangu, untuk sesaat.

"Gue gak pernah sedekat ini dengan orang sebelumnya, bahkan Ana," gumam Raja kecil. "Sampe-sampe gue bisa cerita apapun ke orang itu tanpa peduli dia dengerin atau enggak. Dan gue rela nunggu dia tiap Sabtu dan Minggu di tempat yang sama, cuma buat gangguin atau liat dia. Sampe gue rela pertaruhin persahabatan gue dengan mantan pacarnya. Untung, mantan pacarnya juga gak suka drama jadi persahabatan kita tetap langgeng. Tapi, Tu," Raja merangkum tangan Ratu yang ada di atas meja. "Makasih buat rasa dekat ini, meski cuma sesaat, gue gak akan lupa."

Raja tersenyum kecil ke arah Ratu sebelum melepas tangan perempuan itu lagi, di tempat semula. Cowok itu mengambil jasnya yang tersampir di kursi, bersiap pergi. Setelah tidak jadi datang ke pernikahan Ana, Raja memutuskan untuk pulang ke Tanjungpinang. Ia tidak punya waktu untuk sekedar jalan-jalan di sekitaran Pekanbaru. Ada klien yang menunggunya esok hari. Meski Raja ingin tetap berada di sini, melihat Ratu, namun, ia harus pergi.

Meski, Raja lagi-lagi harus kehilangan seseorang yang pernah membekas di hatinya.

"Raja," panggilan Ratu itu terdengar begitu Raja telah memunggunginya, membuat Raja menoleh ke arah Ratu. Wajah Ratu tampak kebingungan, seperti, kehilangan. Raja sendiri tidak mau berharap banyak jadi ia menghapus harapannya sebelum tumbuh membesar. "Lo mau pergi?" Raja mengangguk.

"Kalo lo pergi," Ratu menggigit bibirnya, tanda bahwa ia canggung. Jemarinya mengetuk pada meja seiring ia berkata, "nanti gue sendiri dan gue kesepian. Bukannya lo gak mau gue sendiri dan kesepian?"

Raja tampak melongo mendengar ucapan Ratu. Bahkan ia kembali menghadap Ratu dengan wajah paling bodoh yang pernah ia tunjukkan. "Kalo gitu," ucap Raja setelah pulih dari keterkejutannya, "lo bisa, ikut gue pergi. Bahkan sama-sama pergi dari masa lalu juga, gue udah siap."

Suara aktivitas di restoran seolah meredam, seperti hanya ada mereka berdua. Baik Ratu dan Raja tersenyum sangat lebar dengan ide itu. Ratu menatap laptopnya sesaat, lalu berbicara.

Sesuatu yang Raja tunggu semenjak melihat Ratu di balik dinding kaca kafe sudut kota. "Sebentar, aku mau hapus video ini Lalu kita pergi."

END

***

Mereka tidak tau cara untuk mendeskripsikan cerita ini. Yang mereka tau, ini tentang dirinya dan dia. Tentang mereka yang saling mencoba mengerti satu sama lain.

***

Raja dan Ratu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang