PART 1

59 25 2
                                    

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh ini terasa sangat ringan. Jauh lebih ringan dari yang kurasakan sebelumnya. Mataku terbelalak saat mendapati sesuatu yang janggal pada kakiku.

Kucoba menggerakkan kaki. Namun, sama sekali tidak merasakan dinginnya lantai. Gaya gravitasi pun seakan tidak berlaku padaku.

Dengan mudahnya kini aku sudah melayang di udara, bergoyang ke kanan dan ke kiri secara perlahan. Bukan hanya pada kaki, aku juga menemukan suatu keanehan yang lain.

Saat kuusap lengan dengan tanganku yang lainnya, bukan kelembutan yang kurasakan. Kulit ini justru mengelupas dan dengan mudahnya kulit baru segera menggantikannya.

Melantur!
Lelaki itu bilang jika temannya melantur! Padahal sudah jelas-jelas jika temannya berbicara denganku! Aku sangat marah pada pria itu. Kukibaskan tangan kanan dan berhasil membuat lampu di villa ini padam.

Tapi, aku tidak peduli.

Rasanya darah-darahku sudah mendidih di kepala. Saat itu pula, tanganku refleks menarik salah seorang pria dan menumpahkan minuman yang dibawanya hingga membentuk sebaris tulisan.

"LETS PLAY IN TWC'S VILLA."

Aku menyeringai saat menyadari apa yang baru saja terjadi. Bersamaan dengan itu, lampu segera menyala kembali. Kulihat tatapan mereka yang melotot keheranan akan kehadiranku. Tapi, apakah salah jika berada di villaku sendiri?

"Hey! What are you doing? Please go away!" ucap salah seorang lelaki padaku disertai lambaian tangan yang keras, cepat, dan dilakukan berkali-kali.
Lelaki yang aku baru saja sadar kalau dialah satu-satunya yang bisa melihatku.

Tunggu.

Hanya dia yang bisa melihatku?

Memangnya aku sudah mati?

Tidak.

Tidak mungkin.

Aku pasti masih hidup.

Pasti.

"Gggrrr!!! This is my villa!" ucapku angkuh pada lelaki itu. Ada yang aneh dari suaraku. Seperti sebuah erangan zombie. Sangat keras, hingga membuat semua benda berjatuhan dari tempatnya. "Hey boys. Save your self by this game! Grrrr!!!" sambungku dengan nada yang sama.

Game?

Aku bahkan tidak tahu apa yang dimaksud dengan game itu.
Aku hanya ingin tahu aku ini kenapa?

Apakah aku dibunuh?

Kecelakaan?

Sakit?

Atau ... membunuh diriku sendiri?

Tidak!

Tidak mungkin.

Manusia mana yang tega menghabisi nyawanya sendiri?

"Game?" gumam si indigo.

"Eh Mike, lo ngomong apa? Terus ada apa di sini? Kayaknya ini villa angker banger! Gue mau pulang!" rutuk salah satu temannya dengan wajah takut yang menggemaskan.

Ingin rasanya aku mencabik-cabik wajah itu.
Enak saja mau pergi setelah sekian lama aku menunggu kedatangan tamu di villaku ini.

"Itu, Do. Ada perempuan di sini. Cantik tapi nggak napak kakinya. Dia mau ngajak kita main game," ucap lelaki itu lagi. Kalau tidak salah, namanya Mike. Itu pun dari yang kudengar tadi.

"Game? Mike, lo harus bilang ke hantu itu. Gimana bisa kita main sama hantu?" tanya si kacamata yang sedari tadi hanya memperhatikan kedua sahabatnya, Mike dan Aldo.

Mendengar perkataan itu aku juga bingung. Entah, apa yang harus kulakukan. Permainan apa yang akan kusuguhkan pada ketiga pemuda di villa ini.

Aku teringat akan sesuatu. Tentang pertanyaan yang telah lama mengusik. Aku akan menyuruh mereka ...,

Mencari jasadku.

Aku ingin mereka ...,

Memberitahuku mengapa aku harus menjadi hantu penasaran seperti ini.

Sepertinya sebelum ini aku menggunakan cincin pemberian ibu. Cincin yang indah terukir nama Bryana di permukaannya. Tetapi, sekarang cincin itu.

Sudah tidak lagi berada di jari manisku ini.

"Kalian semua harus berhasil menemukan cincinku! Cincin yang bertuliskan nama Bryana!" teriakku frustrasi. Merasa ceroboh sekali sampai kehilangan benda peninggalan itu. Apalagi yang membeli dan memberikan itu--Mama dan Papa--sudah terlebih dulu pergi meninggalkanku.

Entah mengapa saat aku mulai berbicara, nada-nada aneh itu terus saja keluar dari mulut ini. Membuat siapapun yang mendengarnya memasang wajah seperti ketakutan.
"Dalam dua jam!" sambungku.

Perlahan aku melihat si indigo mendekatkan jarak di antara kami.

Kaki jenjangnya semakin melangkah ke arahku. Wajahnya yang semula sedikit pucat, kini kembali berbinar. Apa dia kerasukan?

"Kaumau apa, tadi? Kami mencari cincin?" tanyanya dengan lembut. Seolah sedang berbicara dengan gadis cantikeh, aku memang sangat cantik. Tapi itu dulu saat aku masih hidup. Sekarang kecantikanku sudah berkurang 50%. Menyedihkan.

"Ya! Kau dan ketiga temanmu. Grrrrr!" Lagi-lagi geraman menyeramkan keluar dari mulutku.

"Dalam 2 jam?" tanyanya lagi sembari menatapku.

"Ya. Dan jika kalian gagal, grrrrr kalian akan bernasib sama denganku. Grrrrrrr!!"

Aku melihat dada si indigo naik turun. Seolah kesulitan untuk bernapas. Ia mengurangi jarak di antara kami, lalu mengacak rambutnya sembarangan.

"Dengar, hantu! Kami ke sini ingin berlibur. Kami baru sampai. Kami ingin istirahat. Dan kau, hantu menjijikan, jangan ganggu kami. Kau tahu?" bentak si indigo yang langsung sukses menyulut api amarah dalam diriku.

"Ini villaku, bodoh! Aku bebas melakukan apa pun termasuk membunuh kalian sekarang juga! Aku tidak mau tahu, cepat cari benda itu dalam 2 jam. Aku biasa melepasnya saat tidur dan mandi tapi, sekarang cincin itu hilang." Tak tanggung-tanggung aku berujar. "CEPAT CARI SEKARANG ATAU KALIAN MATI!" tegasku.

Tanpa kusadari telah memporak-porandakan ruangan ini. Tak hanya itu, teman si indigosi penakut dan si kacamata tampak sangat ketakutan. Si indigo pun terlihat sama takutnya.

Tanpa berlama-lama, aku segera pergi menghilang dari hadapan ketiga lelaki dengan segala ketakutan pada diri mereka. Dan walaupun aku hantu, kecerdasanku masih berfungsi. Seluruh akses ke dunia luar di villa ini baik pintu, jendela, atap, telepon, signal sudah kuamankan.

"Jangan harap kalian bisa keluar!" Kuakhiri dengan tawa. Tawa yang dilanjut dengan seringaian-- mengejek habis-habisan.

***

Find Me, please (Kelompok 10)Where stories live. Discover now