PART 2

46 24 0
                                    

"Mike? Ini kenapa?" tanya si penakut pada si indigo dengan wajah pucat.

"Gini Nic, di villa ini ada hantunya dan si hantu minta kita buat nyari cincin dia dalam 2 jam atau nggak, kita mati!" jelas Mike dengan wajah datarnya seolah tidak ada hal yang membahayakan.

"Kita pulang aja yuk, liburannya ganti aja. Tempat ini bahaya." Si penakut yang ternyata bernama Nicolas itu merengek ketakutan.

"Iya Mike, bener kata Nico. Di sini ga aman," tambah Aldo.

Tanpa berpikir panjang, ketiga lelaki tersebut segera pergi meninggalkan ruangan itu menuju pintu utama.

Bukan kepalang terkejutnya mereka ketika membuka pintu. Bukan dunia luar yang mereka lihat melainkan refleksi dari ruangan tersebut, seolah terjadi pencerminan di sini.

"What the hell!!" umpat Mike.

"Ini pasti ilusi belaka, Mike, kita bisa coba maksa keluar siapa tau sampai ke gerbang!" ucap Aldo berusaha tenang.

Ketiga laki-laki itu pun memaksakan diri keluar. Setelah beberapa lama waktu mereka habiskan di ruangan itu, hasilnya nihil.

Mereka seolah mengulangi rute yang sama.

Tidak ada titik ujung yang mereka temui. Di mana mereka memulai, di situlah mereka akan kembali lagi.

"Berapa kali kita lewatin pintu ini. Gue cape," keluh Nico dengan napas terengah-engah.

"Kita bener-bener nggak bisa keluar guys, sorry. Kita dalam bahaya!" ucap Mike dengan lesu.

"Oke gini. Waktu yang udah kita pake buat jalan tadi sekitar 20 menit. Jadi kita masih punya waktu 100 menit buat nyari cincinnya, " ucap Aldo dengan wajah seriusnya. "Jadi, Mike, si hantu bilang apa ke lo?" sambungnya menatap ke arah Mike.

"Dia bilang, dia cuma ngelepas cincinnya waktu tidur sama mandi, kurasa." Mike memutar bola matanya penuh keraguan.

Hening menyelimuti ketiga lelaki tersebut. Mata mereka saling pandang seolah mata mereka mampu berbicara. Otak mereka sedang berkelana dalam rimbunnya perkiraan. Satu per satu kemungkinan hadir dalam lamunan mereka.

"Guys," panggil Aldo, "kenapa nggak cari di kamar yang punya villa aja? Biasanya ada kamar yang nggak boleh dipakai, kan?" usulnya dengan sedikit nada keraguan pada setiap katanya.

"Ide bagus. Otak lo emang yang paling beguna diantara kita, Do. Di kamar pasti ada kamar mandinya kan?" tanya Mike menyetujui pendapat Aldo.

Tanpa banyak membuang waktu lagi. Mike, Aldo dan Nico segera pergi ke lantai dua, menuju sebuah ruangan berpintu kayu berwarna kecoklatan yang tampak sepi. Dengan semua tenaga yang tersisa, Nico mencoba mendobrak pintu tersebut.

Sekali.

Dua kali.

Tiga kali.

Pintu berhasil terbuka bersamaan dengan tubuh besar Nico terhuyung ke dalam kamar. Kepulan debu sangat terasa saat baru satu langkah ke dalam kamar.

Pengap.
Seolah tidak ada pertukaran udara di tempat ini.

"Lampu dong, Do. Gelap nih!" perintah Nico sembari mencoba bangkit.

Belum sempat Aldo mencari saklar, tiba-tiba lampu menyala walau hanya dengan cahaya remang- remang yang menunjukkan lampu itu sudah lama tidak diganti.

"Waktu kalian tinggal 70 menit lagi." Suaraku menggelegar di ruangan itu.

Ketiga lelaki tersebut tampak tertegun mendengar perkataanku tadi. Untuk si indigo mungkin sudah tidak asing dengan suaraku. Tapi, kedua temannya tampak pucat.

"Oke guys. Kita bagi tugas ya. Aldo, kamu cari di toiletnya. Nico, kamu cari kamar sebelah kanan, aku sebelah kiri. Setuju?" ujar Mike.

Aldo dan Nico mengangguk setuju dan segera menuju ke tempat yang sudah dibagikan oleh Mike. Satu per satu tempat mereka jelajahi, tidak perduli seberapa banyak debu yang kini menyelimuti mereka.

Tangan mereka dengan setengah ragu menjelajahi setiap inchi ruangan itu. Aku salut melihat perjuangan mereka.

Tapi apa boleh buat? Game tetaplah game dan kini 120 menit sudah terlewati tanpa hasil.

"Boys!" seruku tepat di depan si indigo.

"Apa?!" tanyanya masih fokus mencari cincin itu pada kolong tempat tidur.

"Sorry, waktu kalian habis. Jadi kalian gagal dan itu artinya kalian harus ikut bersamaku. Grrr!" ucapku dengan seringai memuasakan.

"Jangan harap! tapi aku ," ucap Mike terpotong.

Aaaa ....

Sebuah teriakan memilukan terdengar dari arah kamar mandi. Mike dan Nico refleks segera menuju tempat itu. Tepat seperti dugaan mereka.

Ada yang terjadi dengan Aldo.

Tidak ada jejak kaki.

Tidak ada bercak darah.

Tidak ada jalan keluar lain selain pintu yang terhubung pada kamar.

Dan ...,

Tidak ada Aldo.

"Hai! Hantu sialan! Kau kemanakan Aldo? Ini, ini kan cincin yang kau inginkan? Ambil ini!" teriak Mike dengan nada penuh amarah. Tangannya mengepal dan wajahnya merah padam. Mike melempar cincin yang ada di genggamannya sekuat mungkin ke arahku.

"Waktu kalian sudah habis. Dan itu perjanjiannya. Kaulupa?! Grrrr!" tanyaku tak kalah emosi. Dia pikir dia siapa seenaknya membentakku.

"Hanya telat beberapa menit saja. Apa hantu tidak bisa sabar sedikit? Terkutuk kamu, hantu bedebah!" caci Mike sembari mengusap wajahnya.

"Grrrr! Jaga bicaramu! Karena kalian menemukan cincinku, kalian berdua kubiarkan hidup. Dan game kedua. Cari teman kalian itu. Tidak kuberi batas waktu. Tapi jika kalian terlalu lama dia akan mati dengan sendirinya. Ingat itu! Grrr!" balasku dan segera pergi dari tempat itu dengan segaja menjatuhkan barang-barang di sana.

Nico berjalan mendekat ke arah Mike yang tanpak frustrasi. Sejujurnya ia tak tahu apa yang dibicarakan antara Mike dengan hantu itu. Tapi ia pikir bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi.

"Mike? Are you okay?" tanya Nico sembari menepuk bahu Mike.
Terdengar desahan napas Mike seolah ada hal yang gawat. "Si hantu suruh kita cari Aldo, nggak ada batas waktu tapi kalau kelamaan Aldo bisa mati!" jelas Mike lesu.

"Good. Aldo yang paling pinter di antara kita justru yang hilang. Bisa apa kita tanpa otak cerdas Aldo?" keluh Nico tanpa kalah frustrasinya.

***

Find Me, please (Kelompok 10)Where stories live. Discover now