EPILOG

88 18 0
                                    

Senyum hangat Aldo memudar ketika mata hitamnya melemparkan tatapan mengintimidasi pada sahabatnya-Mike. Pikirannya berkecamuk tidak karuan. Banyak hal yang ingin ia ketahui.

Kedua manusia itu saling bertatapan dengan penuh isyarat. Iris hitam penuh kemarahan yang bersinggungan dengan iris cokelat penuh penyesalan itu membuat atmosfer ruangan berubah.

Udara yang awalnya minim menjadi semakin sulit dihirup. Tak ada yang membuka mulut termasuk Nicolas sekalipun. Aku geram sekali. Ingin rasanya menonyor kepala kosong mereka. Tetapi menyentuhnya saja aku tak kuasa.

"Hai! Apa yang kalian lakukan? Membuang waktu saja grrrrrr!" teriakku geram dengan suara yang sedikit berbeda, namun sepertinya mampu didengar oleh mereka.

"Do, untung aja lo ketemu. Lo nggak kenapa-napa, kan?" tanya Mike dengan senyum khas dan tangan kanannya memegang pundak Aldo hangat.

Aldo menepis tangan Mike dengan kasar. Ia terlihat sangat marah. Tidak seperti Aldo yang biasnya. Matanya bahkan membelalak dan seperti hampir lepas. "Good! Hebat lo!" ucapnya sembari bertepuk tangan merayakan kemenangan. "Maksud lo bawa gue sama Nico ke sini buat apa?"

"Liburan," jawab Mike santai seolah tak mengerti maksud nada bicara Aldo.

Aldo tertawa singkat. Tawa mengejek. "Liburan apaan?"

"Gue murni mau liburan, Do. Ada apa sih?" tanya Mike polos dan sukses semakin membuat Aldo naik pitam. Aldo lantas melempar kertas-kertas dalam genggamannya. Nico pun yang sedari tadi hanya diam membisu mulai memunguti kertas itu satu per satu.

"Bryana dan Michael?" Nico menaikkan sebelah alisnya saat membaca tulisan yang ada di tangannya.

Laki-laki yang merasa namanya disebut itu terlihat semakin pucat. Entah apa yang terjadi. Aku masih belum mengerti apa yang terjadi padanya. Dan siapa sebenarnya Michael ... uh, Mike saat aku masih hidup dulu? Ada hubungan apa denganku?

"Mike, jelasin ke kita, please. Apa yang lo perbuat? Ada hubungan apa lo sama hantu itu?" tanya Nico. Kali ini wajahnya berubah tegas. Padahal beberapa menit lalu wajah ketakutannya sangat menggemaskan.

Mike memandangi kedua sahabatnya secara bergantian, lalu segera memandangku lekat-lekat. "Bryana mantan gue," ucapnya santai, "hantu itu Bryana," Ucapan itu sukses membuat kedua sahabatnya terkejut. Begitu pula denganku.

"Dan gue yang bunuh dia." Kalimat itu sontak menjadi batuan berat yang menghantamiku. Seolah membuatku mati untuk kedua kali.

Mike berjalan dengan santai meninggalkan kedua sahabatnya yang masih mematung. Seolah tidak percaya atas perkataannya. Begitu pula aku.

Si indigo mantanku.

Dia yang membunuhku.

Kini dia kembali ke tempat ini.

Aku marah.
Sangat marah.
Amarah ini tanpa kusadari sudah menghancurkan sebagian tempat ini.

"Bryana hentikan! Lo mau jasad lo ketemu, kan? Jangan lo ancurin tempat ini atau jasad lo hilang!" ancam Mike dengan santainya.

"Waktu itu gue kalut," ucap Mike sembari menjelajah ruangan ini. Kedua sahabatnya masih diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan saksama. Aku juga begitu.

"Gue nggak tau setan apa yang ada di dalam diri gue saat itu." Jemarinya sibuk menyingkirkan beberapa hiasan yang tertempel di dinding.

"Gue marah, gue cemburu, tapi gue nggak tau kenapa. Yang ada di otak gue cuma Bryana saat itu. Tapi entah kenapa saat lihat dia, hawa kebencian seolah nguasai gue. Gue sayang sama Bryana. Dan gue cuma mau dia jadi milik gue."

Sembari berbicara, Mike masih meneruskan aksinya. "Gue sering lihat dia sama cowok lain. Gue ga pernah cemburu karena gue tau dia cuma cinta sama gue. Tapi setelah gue tau kalau Bryana deket sama sahabat gue. Gue ga rela itu. Lo tau maksud gue, Nic?" jelasnya tanpa menoleh sedikit pun.

"Tunggu!" Suara Aldo terdengar mengambil alih semua yang terjadi, "oke, Micke dan Bryana. Lalu lo Nic? Apa maksudnya?" Mata hitam itu menatap lekat sosok di sebelahnya.

"Oke oke. Gue jelasin. Gue dikenalin nyokap sama anak temennya. Bryana. Gue suka sama dia, jujur. Tapi gue nggak tau Bryana itu pacar lo Mike, gue berani sumpah. Gue juga taunya Bryana itu Ria. Itu nama kecilnya. Lo juga nggak pernah nunjukin foto pacar lo ke gue, ke Aldo juga. Wajar kalo gue nggak tau."

Nico berusaha menjelaskan dengan tenang agar tak ada emosi dalam menyelesaikan masalah ini.

"Tapi Nic ...,"

"Diam!" bentak Nico memotong kalimat Aldo. "Waktu lo bilang cewek lo Bryana meninggal di villa, gue mulai curiga kalau Bryana dan Ria adalah orang yang sama. Hari meninggalnya cewek lo sama kayak hari hilangnya Ria. Sejak saat itu, gue coba lupain Ria. Gue coba move on. Dan sekarang gue tau lo yang bunuh dia? Iblis macam apa lo?"

Nico mengepalkan tangannya kuat-kuat dengan mata menatap Mike, tampak amarahnya tak tertahankan lagi.

Aku benar-benar tidak percaya atas semua yang terjadi. Pengunjung villa ini adalah orang yang kukenal saat masih hidup sekaligus menjadi penyebab kematianku? Ini sungguh tidak lucu dan tidak bisa dipercaya.

"Jadi waktu lo cerita cewek lo selingkuh, cowok itu Nico?" tanya Aldo.

"Iya. Gue ngikutin mereka malem itu. Gue sakit hati. Dan waktu Nico pulang gue sekap dulu Bryana di tempat ini. Besoknya baru gue bunuh dia," katanya dengan raut wajah datar. Seolah merasa sedih dan kehilangan. "Dan gue nyesel," ucapnya lirih hampir tidak terdengar.

"Gue ngajak kalian ke sini, gue mau jernihin perasaan gue. Gue pengen jelasin semua ini ke Nico. Dan gue pengen makamin Bryana dengan layak." Mendengar ucapan itu tubuhku memanas.

Jasadku.
Aku menginginkan itu.

"Di mana jasad Ria?" Nico mencengkeram kerah baju Mike dan bersiap meninjunya jika saja Aldo tidak mencegahnya.

Jari-jari Mike mulai mengelupas wallpaper yang terlihat aneh. "Di sini." Michael menarik kertas itu dan menunjukkan sebuah tembok menganga dengan mayat yang sudah membusuk.

Aku tertegun tak percaya melihat diri sendiri. Ingin rasanya membunuh Michael saat itu juga. Namun aku mengurungkan hal itu saat dia berniat memakamkanku.

"Gue mau makamin dia, Nic, Do. Pulang dari sini gue mau nyerahin diri ke polisi," ujar Mike.

Dia menatap ke arahku, air mata sendunya membuatku luluh dan iba. Benarkah dia sudah menyesal?

"Gue tahu lo sakit, gue minta maaf. Maaf karna cinta yang seharusnya membahagiakan, malah menyakitkan. Maaf karna cinta yang seharusnya membuat tersenyum setiap saat, malah menjadi sebab air mata lo. Maaf karna cinta yang seharusnya menenangkan, malah membuat lo gelisah. Maafin gue. Maaf, Bryana."

Aku tak kuasa melihat mata ketulusan Mike.

Dia menyesal.

Aku yakin.

Aku menghampirinya, berusaha menahan marah dan menggantinya dengan senyum. "Cinta itu buta, gue percaya itu. Gue pengin marah karena apa yang lo lakukan. Tapi di sisi lain gue bisa melihat, cinta yang buat lo gini. Gue juga sadar, lo sangat mencintai gue. Dan gue ngerti itu, Mike," jawabku tulus dari dasar hati.

Aldo dan Nico menarik Mike keluar villa untuk memakamkan tubuhku dengan layak. Rasanya aku sedikit merasa tanpa beban. Dan lebih tanpa beban lagi ketika mereka yang saling diam itu berpelukan hangat.

Nico dan Aldo memaafkan Mike. Mereka ingin mengubur dalam-dalam kisah malangku bersama jasadku.

Berhenti menjalin luka dalam persahabatan mereka. Dan tidak ada polisi dalam kasus ini. Semua ikhlas menjalaninya dan aku kini pergi dengan damai. Selamat tinggal.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 26, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Find Me, please (Kelompok 10)Where stories live. Discover now