Chapter 6

91 14 3
                                    


"Tangan kita saling menggenggam erat seolah tak ingin melepaskan satu sama lain, tapi bagaimana jika keadaan memaksa kita untuk berpisah?"


Sudah dua hari Raffa menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Aku selalu menjaganya sepulang bekerja dan tentu saja Alenn selalu saja berada di sampingku selama ini. Ia takkan pulang, jika aku tak menyuruhnya.

Aku tengah berada di ruangan Raffa dirawat dan duduk di sampingnya seraya mengusap-usap kepalanya sesekali. Ia tengah tertidur pulas karena pengaruh obat, kupandangi wajah tak berdosanya yang membuatku tersenyum miris. Ayah dan Ibu memandangi kami. Tiba-tiba Alenn datang bersamaan dengan Dokter Devin, dokter yang menangani Raffa.

"Kamu dateng Al? Kok barengan sama Dokter?" tanyaku.

"Kebetulan aja kok, Dil." sahut sang dokter.

"Bapak Rudi saya ingin bicara sebentar dengan anda," tambah Dokter Devin. Papaku mengangguk lemah, ia pun keluar bersama dokter tampan itu.

"Cie, ngelirik Devin terus," kata Alenn sesaat setelah Devin pergi.

"Cuci mata bentar kan gak masalah," sahutku seraya mengangkat bahu.

"Ouh gitu ya, jadi udah gak suka ngeliat yang ini." Alenn menunjukkan dirinya sendiri, aku terkekeh. Ah aku tahu, jika itu cara Alenn menghiburku. Alenn tahu benar jika dua hari belakangan ini, aku banyak pikiran.

"Kamu tu ngeselin." rengekku, Alenn tersenyum dengan memperlihatkan barisan giginya yang rapi.

"Ngeselin tapi kamu sayang kan?" Alenn mengangkat alisnya. Aku hanya cekikikan melihat wajah konyolnya.

Pintu terbuka, Papa datang dengan raut wajah murung. Walaupun memang wajah Papa selalu murung sejak Raffa dirawat, tapi entah kenapa wajahnya terlihat sangat kalut.

Aku tak mungkin menanyakannya di hadapan Alenn, mungkin aku akan bertanya setelah Alenn pulang nanti malam.

Pukul 7.00 pm,

Alenn baru saja pulang, ya tentu saja karena aku yang memaksanya. Aku tengah berjalan di koridor rumah sakit karena tadi aku mengantarkan Alenn sampai ke depan rumah sakit. Dari jauh aku lihat Papa tertunduk sambil termenung, tatapannya kosong. Aku langsung menghampiri Papa yang duduk di kursi tunggu rumah sakit.

Aku menepuk pundaknya pelan, karena Papa tak sadar akan kehadiranku yang duduk di sampingnya selama lima belas menit.

"Eh, sayang. Kenapa kamu di sini malem-malem?" tanya Papa.

"Lah Papa ngapain di sini malam-malam, sendirian lagi. Papa gak takut ada yang ngesot ngedeketin Papa, serem ih, ini rumah sakit lho Pa." ujarku berbasa-basi, Papa sedikit tersenyum karenanya.

"Yaudah ya Pa, Dilsya gak mau basa-basi. Papa kenapa sih? Habis ngomong sama Devin kok Papa jadi sedih, dia marahin Papa? Biar Dilsya cekik dia Pa." ucapku.

"Panggil dia dokter, sayang. Gak ada masalah kok." jawab Papa yang jelas aku ketahui itu bohong.

"Papa, Dilsya berapa lama sih jadi anak Papa? Hampir 21 tahun Pa, Dilsya tau kalo Papa lagi ada masalah." Papa tersenyum, ia mengusap pucuk kepalaku.

"Begini sayang, kata Dokter Devin, Raffa harus segera di beri obat yang harganya lumayan mahal, menurut Papa. Mungkin setelah mendapat obat melalui suntikkan itu, Raffa bisa sembuh. Karena Raffa belum terlambat diobati, lebih cepat lebih baik," Papa menghela napas.

"Papa bingung dapat uang 50 juta darimana? Sempat Papa berpikir untuk ngejual rumah, tapi Papa urungkan niat Papa itu. Kita gak bakalan punya tempat tinggal lagi Nak, kalo Papa jual satu-satunya rumah kita. Papa bingung harus gimana, Dilsya." Papa menundukkan kepala sedih, aku menepuk pungung Papa untuk memberinya kekuatan.

The Most Beautiful Gift Of God [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang