Chapter 7 : Time to Say Good Bye

82 14 8
                                    

"Bagaimana cara mengucap perpisahan, jika sedetik tanpa dirimu aku tak mampu."

Hari ini adalah hari ketiga setelah aku menerima uang berupa cek dari Roy. Rasanya berat untuk mengingat beberapa hari terakhir ini. Adikku memang sudah sembuh walaupun masih ada beberapa tes yang harus Raffa lakukan. Tapi, pikiranku tetap saja masih terganggu karena Alenn. Dia bersikap biasa saja, sangat biasa, tapi bagaimana dengan ku? Sungguh, rasanya aku ingin memutarbalikkan waktu dimana aku bisa mengulang waktuku bersama Alenn.

Aku mengambil cuti selama satu minggu kedepan, aku lebih memilih menghabiskan waktu bersama Alenn. Dan entah kenapa, Alenn tak pernah mempertanyakan tentang perubahan sikapku yang tiba-tiba ingin selalu dekat dengannya. Aku selalu ingin menangis, mengingat tepat setelah ulang tahun Alenn, aku harus memutuskannya setelah memberikan kejutan untuknya. Miris bukan? Entah bagaimana perasaannya nanti, setelah aku buai dengan banyak cinta lalu aku dorong menuju jurang perpisahan. Aku sudah mempersiapkan hatiku, tapi bagaimana dengan Alenn?

Aku tengah mematung di lobi kantor Alenn, sesaat kemudian orang yang sedang aku tunggu mendatangiku setelah berbicara dengan Keira, perempuan yang sempat mencintainya dan sekaligus menyandang gelar karyawan Alenn. Hebat! Tapi wajah Alenn innocent, seolah tak terjadi apapun. Biasanya ia selalu menggodaku setelah berbicara dengan para karyawan wanitanya, namun sekarang tidak ada lagi yang seperti itu.

"Hai." sapaku dengan nada selembut mungkin.

"Hai." sahutnya datar, aku menghela napas pelan.

"Apa aku ngeganggu kamu? Kamu sibuk?" tanyaku dengan dua pertanyaan sekaligus, Alenn menggeleng pelan namun tak menjawab.

"Kalo kamu sibuk, sebaiknya aku pulang." kataku yang langsung membalikkan badan, tiba-tiba tangan Alenn menahan kepergianku.

"Kamu mau kemana? Makan siang bareng? Ayo, kita bisa makan siang bareng tapi aku gak bisa nemenin kamu jalan, dua jam lagi aku ada meeting dengan klien." kata Alenn panjang lebar.

Aku sudah tak ingin berdebat lagi, kami pun langsung menuju restoran terdekat.

Restoran yang kami pilih lumayan bagus dengan suasana untuk pasangan muda seperti kami. Pasangan? Aku rasanya ingin menangis, begitu mengingat kata pasangan yang sebentar tak lagi ku sandang bersama Alenn.

Setelah memesan makanan pada pelayan, hening menyelimuti meja kami. Mulut kami berdua bungkam, tak ada satupun yang ingin membuka suara. Sikap Alenn berubah walaupun ia terlihat biasa saja, Alenn sekarang menjadi lebih pendiam dan aku tak tahu alasannya.

"Alenn." panggilku pelan, ia melihatku penuh tanya.

"Aku boleh nanya sesuatu gak?" kataku lagi, ia lagi-lagi mengangguk tanpa suara.

"Kenapa sikap kamu berubah?" tanyaku to the point. Alenn tertegun, tatapannya menjadi sulit diartikan.

"Gak kok, biasa aja. Mungkin karena aku lagi banyak pikiran pekerjaan sama tugas kuliah," jelasnya, aku menatap mata hitam gelapnya dan aku tak menemukan kebohongan disana.

"Ah, mungkin perasaan aku aja ya? Aku ngerasa kamu jadi lebih pendiem. Oh ya, kalo kamu punya masalah kan kamu bisa cerita sama aku gitu kan, aku kan pacar kamu." jawabku kikuk, Alenn tersenyum simpul.

Pacar darimana? Ingat Dilsya, bentar lagi elo bakalan jadi orang terjahat buat Alenn, batinku. Aku hanya bisa tersenyum miris.

Pesanan datang dan kami menghabiskan makanan kami dalam diam.

****

"Hai Guys, lama gak ketemu!" kata Dhani yang sedang dirangkul Elva. Mereka tersenyum tanpa dosa setelah membuat aku, Alenn, Yusuf, dan Ditha menunggu selama setengah jam.

The Most Beautiful Gift Of God [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang