.
.
.Tak ada yang bisa dia lakukan. Sama sekali tak ada. Gadis itu hanya bisa meringkuk di pinggir tempat tidur, menahan rasa sakit dan nyeri di sekujur tubunya seorang diri.
Tubuhnya seperti luluh lantak, nyeri dan sakit di sana-sini. Bahkan untuk bergerak sedikit saja, Yuki harus mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa.
Gadis itu menangis sesegukan tanpa bisa dihentikan. Tergugu dalam tiap isakan. Entah mengapa kali ini rasa sakitnya seolah berlipat ganda, berkembang biak tanpa bisa dihentikan.
Cukup lama Yuki berada dalam posisi itu meski dia tak menghitung berapa lama. Yang dia tahu, matahari telah naik ke derajatnya yang paling tinggi saat suara itu terdengar. Suara bel di depan pintu kamarnya.
Perlahan, Yuki beranjak dari tempatnya. Mungkin itu adalah kekasihnya, mungkin kemarahan dan resah pemuda itu telah sirna hingga kembali padanya.
Yuki membuka pintu dan terkejut dengan pemandangan di hadapannya. Saat ini tepat di depannya berdiri kakak dari sang kekasih, Rio. Orang yang paling menentang hubungan mereka. Tapi, bagaimana kak Rio bisa mengetahui keberadaan mereka?
"Hai, Yuki..." pemuda tampan itu menyapanya. Nadanya terdengar ramah, namun sedih. Tak seperti seorang pemburu yang menemukan buruannya, Rio justru terlihat sangat tenang.
"K-kak Rio..." meski sudah berusaha, nyatanya gadis itu tak mampu bersikap biasa saja. Yuki gugup mengetahui kakak dari kekasihnya ini ada di hadapannya.
"Kamu kaget kenapa saya bisa ada di sini?" seolah bisa membaca pikiran gadis itu, Rio berkomentar. Yuki membalasnya dengan anggukan perlahan.
"Kamu tentu masih ingat kalau kamu pernah menelpon Mama-mu dari telepon hotel ini kan?"
'Aahh... Jadi karena itu kak Rio tau?!' pikir Yuki. Seketika ingatannya melayang pada saat dia menelpon Ibunya. Itu mungkin akan menjadi kali terakhirnya mendengar suara sang Mama.
"Ibu mu sangat terpukul dengan kepergianmu yang tanpa kabar, Yuki. Terlebih dengan kondisi Ayahmu yang sedang sakit sekarang. Kenapa kamu melakukan ini pada mereka?" Rio bertanya dengan sangat lembut hingga Yuki sama sekali tidak merasa pemuda itu sedang menyalahkan atau menghakiminya. Namun tetap saja kalimat itu seolah menusuknya telak.
"A-aku nggak punya pilihan lain kak. Aku nggak mau putus dari Al..."
"Dengan mengorbankan kedua orangtuamu, begitu?!" Rio menggeser tubuhnya lebih dekat dengan gadis itu. Saat itulah sepasang matanya melihat bekas memar kebiruan di lengan dan tangan gadis itu.
"Apa Al yang melakukannya, lagi?" pertanyaan Rio tersebut awalnya membuat Yuki tidak mengerti. Namun saat melihat kemana kakak dari kekasihnya itu memperhatikan, Yuki menjadi salah tingkah.
"Bu-bukan. Ini... hanya jatuh dan terpentok. Itu saja. Bukan karena Al..."
Rio tahu gadis itu berbohong, tentu saja. Tanpa melihat gelagat Yuki yang enggan menatap matanya pun pemuda itu sudah tahu.
"Ayahmu sedang berjuang melawan maut." kalimat yang keluar dari bibir pemuda itu membuat Yuki seperti tersengat listrik. Ayahnya sedang bergelut dengan maut? Sampai separah itu?
"Kakak bicara apa??"
"Karena itu aku kesini untuk menjemputmu dan membawamu kembali ke keluargamu..."
"Ti-tidak. Tapi Al... Al akan..."
"Kau bisa memikirkannya nanti. Bagaimana hubungan kalian. Sekarang yang terpenting adalah nyawa Ayahmu. Apa kamu rela melihatnya meninggal dunia tanpa melakukan salam perpisahan dan penghormatan seperti yang seharusnya?"
Kalimat itu menohoknya. Tepat. Dia tidak akan mungkin sanggup kehilangan sang Ayah tanpa mengucap perpisahan. Tidak, lebih buruk lagi, dia tidak rela bila sang Ayah pergi meninggalkannya dan sang Mama. Dia tidak siap.
Melihat gadis di hadapannya terpekur dan tampak tertekan, Rio memberanikan diri menyentuh pundaknya. Gadis itu tampak melonjak kaget hanya karena sentuhan ringan itu.
"Pulanglah..."
Rio hanya menawarkan satu kalimat itu. Dia tidak memiliki kekuatan untuk melawan jika Yuki ingin tetap tinggal. Tapi Rio yakin Yuki akan mendengarkannya. Gadis itu akan kembali ke keluarganya dan menjalani kehidupan yang seharusnya dia jalani.
Yuki terlihat gamang dan ragu. Sesaat, perkataan Al tergiang di telinganya. "Sejengkal aja lo keluar dari pintu itu, semua tentang kita akan selesai. Dan gue nggak sudi ngeliat lo lagi!!"
Lalu apa yang harus dia lakukan?Namun bayangan wajah Ayah tercintanya membuat Yuki merasa bersalah. Dia tidak ingin kehilangan sang Ayah sekarang, tidak dengan cara seperti ini. Dia tidak ingin menambah dosanya lebih dari ini.
Karena itu, untuk pertama kalinya Yuki menatap Rio tanpa takut dan cemas. Gadis itu memberikan anggukannya. Tanda bahwa dia setuju dengan ajakan Rio untuk pulang.
"Aku ambil tas-ku dulu kak." setelahnya, Yuki menghilang ke dalam kamar dan mempersiapkan beberapa barangnya.
'Maafin aku, Al. Setelah ini, aku akan nemuin kamu lagi untuk minta maaf...' bathin Yuki sedih. Meninggalkan Al adalah sesuatu yang berat baginya. Sama beratnya saat harus memutuskan pulang demi sang Ayah.
Yuki melangkah keluar menemui Rio. Sejenak gadis itu berpikir ulang tentang semuanya. Dan ini sudah menjadi keputusannya. Dia akan pulang menemui sang Ayah terlebih dahulu baru kemudian kembali pada kekasihnya.
Yuki hanya berharap Al mau memaafkannya. Setidaknya kali ini saja...
---0000---
Saat pemuda itu kembali ke kamarnya, semua tak lagi sama. Kamar itu telah kosong, ditinggal oleh penghuninya.
Al mengepalkan tangan, merasakan seluruh emosinya bergolak di luar kendalinya.
"Bangsat!" pemuda itu melampiaskan amarahnya dengan memukul tembok. Tentu saja buku jarinya nyeri akibat perbuatannya. Namun itu belum seberapa. Rasa sakit dan kesal yang membuncah di dadanya belum sirna.
"Jadi ini keputusan lo? Lo mencampakkan gue? Lo ninggalin gue?" Al melakukan monolognya. Wajahnya merah padam karena amarah.
"Lo liat aja. Gue bakal bikin hidup lo menderita!!"
Dan semua tak akan lagi sama...
---000---
To Be Continue
STAI LEGGENDO
Between Us [ALKI]
RandomKetika perasaanmu jauh lebih besar dari segala logika yang ada. Al Ghazali - Yuki Kato #Warning : Some violence, sexual harrasement and verbal abuse.