Perjalanan pulang hari ini terasa lebih cepat dan lebih menyenangkan daripada biasanya - gue yang biasanya lebih banyak mikir kalau nyetir pulang, hari ini bisa sing-a-long ke lagu-lagu top 40 yang diputar di radio. Mungkin karena hari ini gue banyak bercanda dan ketawa, ditambah sebelum pulang tadi sempat cerita-cerita sama Raga - mungkin terdengar receh, tapi rasanya hangat sekali bisa berbagi cerita sama seseorang. Biasanya gue lebih banyak mendengarkan daripada bercerita - karena kadang gue denger curhatan Aneta, Mario, atau Vino suka merasa kalau cerita gue gak ada apa-apanya dibanding cerita mereka, cerita gue sepele - kasian kalo mereka yang udah ada masalah masih harus dengerin cerita-cerita gue yang sebenernya bisa gue selesain sendiri.
Pas banget sampai rumah, gue melihat ada mobil Toyota Yaris terparkir didepan rumah gue - mobil yang gue tahu siapa pemiliknya : Marvino Timothy - yang setelah lama menghilang gak ada kabar, tiba-tiba muncul di depan rumah gue jam 9 malam. Buru-buru gue parkir dan mematikan mesin mobil gue, dan langsung menghampiri mobil Vino - yang sepertinya tidak sadar dengan kehadiran gue, karena sekarang posisinya sedang memeluk setir. Pelan-pelan gue ketuk jendela mobilnya.
"Vin?"
Vino langsung bangkit dari posisinya, dan menurunkan kaca jendela mobil
"Masuk dong, Jiw."
Matanya sembab, ada beberapa memar dibagian pipinya, dan wajahnya terlihat kusut dan bengkak. Tanpa pikir panjang, gue langsung menuruti permintaan Vino, masuk dan duduk di kursi penumpang."Lo kenapa, Vin?"
Alih-alih menjawab, Vino malah menatap kosong kearah jalanan, sebelum akhirnya menghela nafas dan menoleh kearah gue.
"Gue gak tahu harus apa, Jiw. Gue bingung banget." Setelah hening beberapa saat, Vino akhirnya mulai buka suara, "Keluarga gue lagi ancur banget, Jiw. Singkatnya...finansial keluarga gue berantakan, bokap stress - dan yang jadi pelariannya adalah gue, abang, dan nyokap." Lanjutnya, suaranya mulai bergetar - tapi terdengar jelas kalau Vino masih berusaha untuk menahan emosinya, menahan tangisnya, "Bokap stress, dan jadi abusive. Gue gak apa-apa Jiw, kalo gue dan bang Raymond yang kena. Gue cowok, masih muda, dan masih kuat untuk bela diri - kalau gue emang harus balas bokap gue, gue masih mampu. Tapi nyokap gue, Jiw. Nyokap gue yang selama ini nemenin bokap dalam susah senang, dengan enaknya dia sakitin kaya gitu, Jiw. Sakit banget gue lihatnya."
Selama berteman dengan Vino - yang gue tau dia adalah orang yang tertutup, yang jarang sekali mengungkapkan emosinya, mengukapkan perasaanya dengan gamblang. Mungkin yang benar-benar tahu aslinya Vino ya cuma keluarganya, cuma kedua orangtuanya, dan abang Raymond. Melihat Vino yang sekarang tangisnya pecah, dan saat ini menyembunyikan wajahnya sambil memeluk setir mengiris hati gue. Vino yang selama ini gue kira menghilang tanpa alasan yang jelas, ternyata harus menghadapi masalah seperti ini di rumahnya.
"Lo udah coba hubungin keluarga nyokap lo? Atau keluarga bokap lo? Siapa tahu mereka bisa bantu, Vin."
Vino menggeleng pelan, "Justru bokap gue stress karena keluarganya gak ada yang mau bantu, Jiw. Bokap gue gak tahu harus lari kemana lagi, there's a lot that you dont know about my family right now, Jiwa. Nyokap gue juga gak mau keluarganya tahu kalau kondisinya lagi kaya gini, gue pernah coba telefon tante gue - dan malah ketahuan sama bokap. Ujung-ujungnya malah makin parah."
Gue mengelus punggung Vino, "Vin, i am really sorry to hear about your family and i really wish i could help. Kalo ada apa-apa, lo cerita aja ya sama gue, Vin. Mungkin gue gak bisa kasih saran, karena gue belum ada di posisi ini, but i am all ears, Vin." Kali ini Vino tidak langsung menjawab, dan malah memeluk gue.
"Lo udah bantu gue banget, Jiw. Cukup didengerin aja gue udah seneng - setidaknya lebih lega daripada sebelumnya. Tadi juga Bang Raymond yang saranin gue untuk ketemu lo, mumpung bokap lagi tidur. Nyokap gue juga aman di jagain sama abang, makanya gue bela-belain kesini." Ceritanya lagi, "Gue dan abang sebenarnya udah sempat mau bawa kasus ini ke pihak berwajib, atau ke Komnas Perempuan - tapi nyokap malah mohon-mohon supaya gue dan abang diam dulu. Gue tahu nyokap gue masih sayang banget sama bokap, dan gue pun juga - tapi kalau emang bawa kasus ini adalah jalan terbaik...ya mau gak mau. Gue cuma mau lihat nyokap gue senyum lagi. Gue cuma mau lihat wajah cantik nyokap gue lagi, yang gak penuh memar sana-sini."
"Apapun yang akan lo lakukan nanti, lo harus inget sama konsekuensinya. Lo harus selalu ngomong sama abang Raymond gimana enaknya buat bikin bokap lo berhenti kaya gini ke nyokap lo, dan ke kalian." Kata gue, "Gue cuma mau ngingetin lo, Vin. Jangan sampai lo melakukan hal-hal bodoh kalo lagi emosi banget ya. Lo harus control emosi lo, dan gue yakin lo pasti bisa."
"Semoga gue bisa ya, Jiw. Gue minta tolong lo bantu doa aja biar masalah gue cepet selesai." Jawabnya, "Yaudah, lo masuk gih. Gue jadi gak enak lo baru pulang dan masih capek udah harus dengerin curhatan gue kaya gini. Istirahat, Jiw. Salam buat nyokap dan bokap lo ya." Lanjutnya, dan gue hanya menjawabnya dengan anggukan dan menepuk bahu Vino sebelum akhirnya berpamitan dan turun dari mobil.
"Assalamualaikum anak gadis papa satu-satunya, darimana aja kok jam segini baru pulang?" Gue ketawa sendiri waktu baru masuk rumah dan disapa papa seperti ini, biarpun usia gue sekarang sudah 20 tahun tapi papa masih sering memperlakukan gue seperti berumur 7 tahun - i cant blame him though, all the daughters will always be daddy's little girl, right?
"Tadi abis ngobrol sama Vino dulu, Pa." Jawab gue sambil mencium tangan papa.
"Vino kok gak disuruh masuk dulu, Jiw?" Timpal mama yang lagi di dapur - kebiasaan kalau tiap malem sebelum tidur mama dan papa sering ngeteh dulu sambil nonton TV, kadang kalau gue gak capek atau gak ada tugas gue join mereka — sekedar untuk ngobrol-ngobrol dan 'update kehidupan' sama mereka.
"Lagi pengen curhat, Ma. Makanya ngobrol di mobil aja, kalau disini yang ada malah diajak ngobrol soal bola sama papa." Jawab gue, yang ditanggapi oleh tawa sama mereka — kadang kalau Aneta, Vino, atau Mario kesini mama dan papa suka ikut ngobrol. Kaya yang tadi gue bilang, update kehidupan biar tahu kehidupan anak muda zaman sekarang tuh kaya gimana.
"Inget ya Jiw, dicurhatin sama orang itu boleh, bagus artinya orang itu percaya sama kamu. Tapi kamu jangan sampai keikut kepikiran masalah mereka ya. Harus inget sama diri—"
Wejangan papa terpotong karena handphone gue berdering, menandakan ada telefon masuk.
"Siapa Jiw?" Tanya papa, yang mungkin penasaran dengan ekspresi muka gue yang langsung kaget begitu tadi melihat layar handphone gue.
Gue menunjukkan layar handphone gue ke papa, yang membuatnya langsung tertawa. "Yaudah, diangkat dulu. Mungkin Mario mau curhat juga."
Gue mengangguk, "Jiwa keatas dulu ya." Pamit gue sambil menaiki tangga, dan menjawab telefon Mario.
Tumben banget dia nelfon gue malam-malam begini."Halo, Yo." Sapa gue, bersamaan dengan gue yang baru saja menutup pintu kamar, "Ada apa?"
"Can you come over?" Mario telfon aja gue udah kaget, ini lagi tiba-tiba nyuruh gue ke rumahnya. "Sorry Jiw, its too late already ya?"
"Well...it is, ada apa? Kok tiba-tiba banget nyuruh gue dateng? Kangen banget?"
"Jiw," Mario yang biasanya selalu menanggapi candaan gue kali ini terdengar serius dan — panik? "Lo bisa telfon gue 3 menit lagi? Kalo gue gak angkat, telfon lagi Jiw."
"Yo, ada apa?"
Samar-samar gue bisa mendengar nama Mario dipanggil oleh ayahnya — nadanya terdengar jelas kalau dia sedang marah, cara manggilnya benar-benar galak.
"Call me in 3 minutes please, i'll tell you the details later."
Gue hanya bisa menghela nafas begitu sambungan telefon terputus, dan menunggu 3 menit lagi untuk tahunapanyanh sebenernya terjadi sama Mario.
Dear God, please take good care of my friends.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa & Raga
Teen Fiction⚠️UNDER REVISION -and then she knew, that you could become homesick for people too